Rabu, 31 Oktober 2012

Apa yang Diceritakan Anak-anak Kita di Belakang Kita


Saudaraku..

Abdullah bin Ahmad rahimahullah pernah menceritakan perihal ayahnya (Imam Ahmad):
“Ayahku terbiasa membaca sepertujuh al Qur’an setiap hari. Ia mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh hari. Dan iapun mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh malam. Ia mengakhirkan shalat Isya’, lalu ia tidur beberapa saat. Lalu bangun dan shalat malam hingga menjelang subuh. Selepas shalat subuh, ia berdo’a panjang. Setiap hari ia melaksanakan shalat sunnah sebanyak 300 raka’at. Setelah usianya uzur, dan ia rasakan tubuhnya mulai melemah, maka ia kurangi separuhnya. Di mana ia shalat sunnah sebanyak 150 raka’at sehari.”
(Mi’ah kisah min qashashi ash shalihin, Muh bin Hamid Abdul Wahhab).
 
Saudaraku..
Itulah profil orang tua yang menjadi teladan bagi anak-anaknya. Bukan hanya teladan dalam meriwayatkan hadits dan membekali diri dengan ilmu. Tapi juga teladan bagi anak-anaknya dalam ibadah dan mengukir prestasi ubudiyah di hadapan-Nya.

Dari penuturan putera Imam Ahmad ini, dapat kita petik beberapa buah pelajaran dan manfaat darinya.
• Imam Ahmad, termasuk salah seorang ulama yang mampu mewariskan keshalihan pribadi dan ilmu pengetahuan terhadap anak-anak dan generasi sesudahnya. Dan hal ini yang jarang kita temukan pada ulama di zaman ini.
• Tarbiyah (pendidikan) anak yang dilakukan orang tua dengan keteladanan, memiliki dampak yang besar dan pengaruh yang terang dan membekas di hati anak-anaknya.
• Diminta atau tidak. Kita sukai atau tidak. Sepengetahuan kita atau tidak. Di masa hidup kita atau sepeninggal kita. Pasti anak-anak kita akan menceritakan kepada orang lain tentang siapa kita di matanya. Baik dari sisi positif maupun dari sisi negatifnya.
• Imam Ahmad adalah merupakan tipe orang tua yang sangat dicintai dan dibanggakan oleh anak-anaknya. Berbeda dengan kita. Barang kali mereka lebih mengenal kita dari kepribadian tercela; pelit, malas ibadah, tak mampu meredam emosi dan yang senada dengan itu.
• Kelebihan yang dimiliki oleh Imam Ahmad, mampu mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh hari dan setiap tujuh malam serta mampu melakukan shalat sunnah sebanyak 150 sampai 300 raka’at dalam sehari, merupakan karamah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang shalih dan dicintai-Nya. Yang tak mungkin dilakukan oleh kita yang jauh di bawahnya dari kwalitas iman dan ubudiyahnya.
• Karamah, bukanlah seperti yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin, seperti kemampuan seseorang untuk melakukan shalat Jum’at di masjidil haram. Berlari di atas air. Terbang di udara. Memiliki kemampuan untuk meramal nasib seseorang dan seterusnya. Karena hal itu semua termasuk dalam katagori sihir. Karena diperoleh dengan jalan menjauhi berbagai aturan dan syari’at agama. Berbeda dengan karamah, yang tidak bisa diraih terkecuali dengan taqarrub kepada Allah swt.
• Berdekatan dengan kalamullah dan shalat malam serta do’a merupakan amalan istimewa di hadapan Allah. Yang dengannya Dia mencintai kita dan mengelompokkan kita menjadi ahlullah dan hamba-hamba khusus-Nya.

Saudaraku..
Bagaimana pendapat kita, apa yang selama ini dan akan dibicarakan anak-anak kita di belakang kita? Apakah mereka menceritakan kebaikan dan keteladanan kita dalam keluarga? Atau justru sebaliknya, menceritakan keburukan dan sisi-sisi gelap kehidupan kita dalam keluarga. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Ustadz Abu Ja'far

Selasa, 30 Oktober 2012

Belajar dari Mbah Pur ( tetap bersemangat melakukan amal kebaikan meskipun telah lanjut usia))

Mbah Pur, begitulah aku biasa menyebut tetangga sebelahku ini. Seorang janda yang berprofesi sebagai tukang urut yang sudah lanjut usia. Di usianya yang telah  senja,  dia harus menjalani hidupnya dengan kesendirian dan kesepian. Tak ada anak dan cucu yang menemaninya. Hanya sesekali saja anak dan cucunya datang menengok mbah Pur. Entahlah, apa yang menjadi alasan anak-anaknya untuk tidak menemani ibu mereka yang sudah tua.

Mbah Pur pernah cerita kepadaku ia pernah mengalami kecelakaan motor saat diboncengi anaknya. Akibat kecelakaan itu, beberapa giginya harus tanggal dan punggungnya sering merasa sakit. Sejak kecelakaan itu, ditambah dengan usia yang telah tua, ia tidak dapat lagi berjalan dengan tegak. Jalannya harus membungkuk dan pelan-pelan.

Sebenarnya, hubunganku dengan mbah Pur tidak  terlalu istimewa. Kami  hanya sesekali saja saling bertegur sapa di saat aku bertemu dengannya di jalan atau di depan rumahnya. Ia biasa menyapa diriku dengan sebutan De Guru atau Jeng. Bahkan sampai saat ini, ia tidak pernah tahu namaku. Mengenal dirinya aku jadi banyak belajar tentang arti kehidupan. Banyak kesan dan cerita tentang mbah Pur.

Mbah Pur Menengok Aku di Rumah Sakit

Suatu hari, aku dirawat di rumah sakit karena terkena typus dan demam berdarah. Tak ada tetangga yang kuberitahu mengenai sakitku ini. Tapi, meskipun aku berusaha menutupinya, akhirnya tetangga-tetanggaku banyak yang tahu dan mereka pun menengok aku, termasuk mbah Pur.

Saat aku ingin beranjak dari tempat tidur dan bermaksud ke kamar mandi. Di luar terdengar suara ribut-ribut."Mbah mau menengok siapa mbah...." suara satpam perempuan. "Saya mau menengok De guru..... saya sudah muter-muter nyari kamarnya, sudah nyari di lantai bawah sampai atas belum ketemu juga..."

Suara itu sepertinya sangat aku kenal. Langsung aku turun dari tempat tidur dan berteriak, "saya...itu saya yang dicari...!" Aku tergopoh-gopoh membawa kantung infusku dan menghambur keluar kamar.

"Oalaaaa.... ditanya nama pasiennya, si mbah cuman bilang De Guru, saya jadi bingung mau bantunya..." satpam itu tertawa terkekeh-kekeh. "Makasiih ya nak sudah bantu mbah..." Mbah pur melambaikan tangannya. "Terima kasih ya bu sudah mengantarkan tetangga saya..." Saya tersenyum kepada satpam rumah sakit. "Bukan tetangga.... tapi saudara..." Mbah Pur langsung menyambar omonganku yang terakhir. Terkesima aku dengan ucapan mbah Pur yang tadi. Aku jadi merasa malu, ia menganggap diriku sebagai saudaranya.

Ku cium punggung tangan mbah Pur dan memegang erat tangannya. Ia memberikan bungkusan plastik yang berisi jeruk mandarin. Dengan keadaan ekonominya yang pas-pasan, mbah Pur masih saja merelakan sebagian uangnya untuk membawakan buah tangan. Setelah mengucapkan terima kasih atas bawaannya, aku bertanya pada mbah Pur bagaimana ceritanya ia bisa sampai ke sini.

Aku sangat terharu dengan cerita mbah Pur.  Tak terasa, setitik air mata jatuh ke permukaan wajahku. Seorang mbah Pur, yang untuk berjalan saja harus merasa kesulitan masih menyempatkan waktu untuk menengokku. Sesampai di rumah sakit, ia harus naik dan turun tangga untuk mencari kamarku, mencariku hanya bermodalkan nama De Guru.

Sementara aku, yang masih muda dan yang masih kuat dan sehat. Menyempatkan waktu untuk menengok teman dan saudara-saudaraku yang sakit rasanya sangat sulit sekali. Begitu banyak pekerjaan yang harus kukerjakan sampai-sampai tak ada waktu yang tersisa untuk melakukan amal kebaikan yang satu ini. Padahal banyak keutamaan ketika seseorang menengok saudaranya.

Rasulullah  bersabda:

“Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim lainnya pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari; dan jika ia menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma yang dipetik di taman surga.” (HR Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadits hasan.”)
 Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa menjenguk orang sakit maka berserulah seorang penyeru dari langit (malaikat), ‘Bagus engkau, bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan tempat tinggal di dalam surga.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Orang itu bertanya, ‘Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya?Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?’ ‘Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.’ Orang itu menjawab, ‘Ya Rabbi, bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati hal itu di sisiKu?’ ‘Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.’ Orang itu bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?’Allah menjawab, ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?”

Kecintaan Mbah Pur dengan Masjid

Sepengetahuan saya, hampir setiap hari Mbah Pur tidak pernah melewati waktu sholatnya di masjid. Seperti hari-hari biasanya, azan sholat belum berkumandang, Mbah Pur berjalan dengan susah payah. Sambil mengepit mukena dan tanpa tongkat di tangannya, mbah Pur berjalan dengan sangat pelan. Beberapa kali ia harus berhenti sejenak, mengatur nafasnya atau mempersilakan orang yang dibelakangnya untuk berjalan. "Silakan De Guru.... jalannya mbah mah kaya kura-kura.... lamaaa...." Begitulah kelakar mbah Pur saat motor kami berhenti di belakangnya. Dengan keterbatasan fisiknya, tidak membuat halangan mbah Pur untuk sholat berjamaah dan mengikuti pengajian ibu-ibu di masjid.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)

Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)

Mbah Pur Pergi Pergi Ke Yogyakarta saat Bencana Gunung Merapi Meletus


Umi pengasuh anakku cerita  tentang kepergian mbah Pur ke Yogyakarta. Semua masukan dan nasihat orang-orang di lingkungan rumahku untuk menghentikan niat mbah Pur pergi ke sana tak dihiraukan olehnya. Mbah Pur tetap bertekad pergi ke Yogyakarta, padahal saat itu keadaan Yogyakarta sedang tidak aman akibat letusan Gunung Merapi.  Dengan mencarter angkot dan membawa beberapa bungkusan berisi baju mbah Pur akhirnya pergi juga ke Yogyakarta. Niatnya sungguh mulia, membantu saudara-saudaranya di sana dan memberikan bantuan pakaian buat saudara-saudaranya yang membutuhkan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya. Siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, pasti Allah memudahkan baginya jalan ke surga. Apabila berkumpul suatu kaum di salah satu masjid untuk membaca Al Qur’an secara bergantian dan mempelajarinya, niscaya mereka akan diliputi sakinah (ketenangan), diliputi rahmat, dan dinaungi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-makhluk lain di sisi-Nya. Siapa yang lambat amalannya, maka tidak akan dipercepat kenaikan derajatnya”.

Perpisahan Aku dengan Mbah Pur


Dengan aku telah memiliki rumah baru, aku harus meninggalkan lingkungan rumah yang meninggalkan kenangan indah dan para tetangga yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Sungguh indah memiliki tetangga yang baik-baik dan penuh perhatian pada kita, semua kenangan dengan mereka terukir indah dalam ingatanku. Aku berpamitan dengan para tetangga. Ada kesedihan di wajahku dan di wajah mereka. Begitupula dengan mbah Pur, Saat kami berpamitan, mbah Pur memelukku lama sekali. Mata tuanya terlihat berkaca-kaca. "De Guru.... selama 4 tahun jadi tetangga, tidak pernah saya merasa disakiti.... Mudah-mudahan rumah tangga De Guru adem ayem, semuanya selalu sehat dan mendapat perlindungan dari Alloh..." Begitu panjang doa yang diberikan untukku. Doa yang sangat tulus dari seorang Mbah Pur.

Rima Gadis Kecil yang Mandiri

Foto Rima saat akan masuk kelas 1 SMP

Ketertarikan saya pada gadis kecil berambut ikal ini, berawal dari kunjungan saya ke rumah kakak ipar saya. Menurut saya, Sulung dari kakak ipar ini adalah anak yang hebat, mandiri dan tidak manja. Rima di mata adik-adiknya sebagai sosok kakak yang disegani, dipatuhi kata-katanya sekaligus dicintai. Layaknya asisten bagi kedua orangtuanya, Rimalah yang menjaga kedua adiknya dan mengambil alih pekerjaan rumah di saat orangtuanya sedang sibuk menjaga toko milik mereka.

Saya dibuat tertegun oleh anak seusia 8 tahun. Azan zuhur belum juga terdengar, Rima sudah siap mengenakan mukenanya lengkap dengan sajadah yang telah terbentang di lantai. Adik-adiknya pun diingatkan untuk menghentikan main dan segera siap-siap sholat. “Subhannalloh…” saya hanya bisa bergumam dalam hati. Terharu hati ini menyaksikan semua yang ada di hadapan.
Saya dan suami tidak mau kalah dengan bocah yang masih duduk di kelas 3 ini, segera kami ambil wudhu dan sholat berjamaah setelah menunggu beberapa saat azan berhenti. Selesai sholat, dengan cekatan Rima menyuguhkan menu makan siang untuk kami, dan diteruskan dengan tugas selanjutnya menyuapi si adik bungsu yang masih berusia 3 tahun. Belum tuntas acara makannya. Si adik bungsu membisikkan sesuatu padanya dan langsung dijawab dengan anggukan. Tidak terlihat kekesalan pada wajahnya, yang ada hanya limpahan kasih sayang pada sang adik. Lagi-lagi saya dibuat kagum olehnya. Rima dengan sigap membukakan celana adiknya yang sudah tidak tahan untuk BAB. Dengan sabar ia menunggui si adik di depan kamar mandi dan menyeboknya setelah si adik selesai menunaikan hajatnya.

Suatu ketika Rima bercerita. Orangtuanya pergi ke rumah kerabat dan karena suatu kondisi, mengharuskan mereka bertiga tetap di rumah. Sepeninggal ayah ibunya, kebetulan sedang ada pemadaman listrik. Entahlah apa yang dilakukan oleh bocah cilik ini ketika harus menenangkan adiknya yang menangis ketakutan karena listrik tidak kunjung menyala. Mendengar cerita dari mulut mungilnya, saya jadi semakin kagum dengan sosok kakak yang satu ini. Rima tidak hanya mampu mengurusi dirinya sendiri, namun ia juga dapat mengayomi sekaligus ngemong terhadap adik-adiknya.

Bagaimana bisa? pertanyaan ini spontan keluar dari bibir saya kepada suami. Orangtua mana yang tidak kepingin memiliki anak seperti itu? Anak yang mandiri, santun akhlaknya, cerdas dan tidak manja . Insya Allah, anak dengan model seperti ini akan mudah melewati masa-masa sulitnya di kemudian hari.

Rima kini telah menginjak remaja dan telah menjadi siswa kelas 1 SMP di pesantren yang terletak di Sumatera Utara. Kemandirian yang telah ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya, membuat ia menjadi anak yang mandiri ketika ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya yang  saat ini  tinggal di Sentul, Bogor.


Umi Pengasuh Anakku yang Sholehah (bag 1)

Sulitnya mencari pengasuh anak, pasti hampir dirasakan oleh kebanyakan ibu-ibu yang bekerja. Hal itu pun saya rasakan, ketika saya dan suami bertekad untuk memilih hidup mandiri, tidak lagi hidup bersama orang tua.

Saat liburan sekolah nanti adalah moment yang tepat untuk pindah ke kontrakan. Sebulan sebelum kepindahan kami, tentunya persiapan yang sangat penting adalah mencari seorang pembantu untuk mengasuh anak kami. Menurut saya, rentang waktu 1 bulan cukup bagi calon pengasuh untuk mendapatkan training dari saya.

Apa yang sudah saya rencanakan ternyata tidak semulus dengan kenyataannya. Semakin mendekati libur kenaikan kelas, saya belum juga mendapatkan pengasuh. Masya Allah, ternyata susah sekali ya mendapatkan pengasuh! Apalagi ditambah embel-embel si pengasuh harus yang berjilbab.

Bayangan sulitnya mencari pengasuh yang berjilbab, sudah menari-nari di pelupuk mata saya. Ya...saat itu, mencari pengasuh yang berjilbab adalah harga yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh saya kepada suami. Meskipun saya sudah menggambarkan realita yang ada kepadanya, tetapi suami tetap pada keinginannya

"Bisa dapat pengasuh saja sudah alhamdulillah... " Saya menyakinkan suami betapa susahnya cari pengasuh untuk sekarang ini. "Toh... dengan berjalannya waktu, kita bisa kasih nasihat dan masukan, kali aja... dia pakai jilbab" Saya mulai merayu. "Kita tidak dapat berspekulasi, nantinya ia akan pakai jilbab atau tidak." Suami mulai menasihati saya. "Dia itu akan jadi contoh buat anak kita, dari pakaiannya, tingkah lakunya, bicaranya.." Saya menyadari semua omongan suami benar adanya. Saya sering menjumpai pengasuh-pengasuh anak yang pakaiannya super ketat dengan model lengan yang sangat minim. Belum lagi ucapan-ucapan mereka yang kadang-kadang bikin kuping jadi gatal.

Sudah tanya ke sana-sini, sudah minta sama teman, minta sama pengasuhnya beberapa teman namun hasilnya masih nihil, padahal waktu kepindahan kami tinggal seminggu lagi. Saat itulah pendirian suami hampir goyah.
Akhirnya saya sedikit mendapatkan secercah cahaya dan harapan. Saya mendapatkan informasi bahwa pengasuh teman saya sedang pulang kampung. Akhirnya dengan penuh harapan, saya telepon dia dan meminta supaya dicarikan teman atau saudara di kampung untuk pengasuh anak kami. Kebetulan sekali, temannya di kampung mau jadi pengasuh anak. Alhamdulillah! Jerit saya dalam hati. Biarlah tidak berjilbab, mudah-mudahan akhlaknya baik.

Selama proses mencari pengasuh, saya mengajak suami untuk memanjatkan doa. Doa penuh harapan dan keyakinan. Betapa kami ingin mencari pengasuh anak yang berjilbab, yang amanah, yang baik akhlaknya dan begitu banyaknya harapan kami buat calon pengasuh anak kami. Doa dengan penuh kekhusyuan dan setengah meminta dengan jeritan hati. Alloh... berikan pengasuh yang terbaik buat anak kami. Kami yakin Engkau tahu siapa orangnya.

Tinggal 1 hari lagi kami pindah dan kabar itu pun datang. Saya membaca kata demi kata dari layar handphone dengan penuh deg-degan. Bunyinya seperti ini. "Maaf bu, teman saya tidak jadi ke Jakarta karena saat ini dia sedang sakit." Membaca SMS itu membuat saya kecewa. satu-satunya harapan saya kepada dia rasanya sudah kandas. "Bagaimana?" Saya menunjukkan SMS itu kepada suami. "Kita tetap akan pindah?" Suami bertanya pada saya. Ada sedikit keraguan di pelupuk matanya. "Ya Sudah... Bismillah aja, Mudah-mudahan Alloh menolong kita dari arah yang tidak kita duga-duga. " Kataku dengan nada pasrah."Betul!" Suami memberi semangat pada saya. "Kalau dibatalkan untuk pindah rasanya tidak mungkin, karena kita sudah bayar kontrakan rumah." Sambung saya lagi. Akhirnya hari kepindahan kami tiba. Jika menghitung hari, kami hanya punya waktu seminggu untuk mencari pengasuh di sekitar sini. Setelah itu, kami sudah harus bekerja lagi.

Malam harinya di kontrakan baru.

Malamnya, ketika saya sedang bermain dengan putri saya. Tiba-tiba pintu kami diketok dari luar. "Subhanallah.... baru jadi penghuni rumah ini sudah ada tetangga yang datang." Pikir saya. Saya lihat dari jendela dua orang sudah menunggu di luar. Waah, takjub juga nih. Bukannya saya yang bertandang ke rumah tetangga malah mereka yang datang ke rumah saya. Saya bukakan pintu, dan betapa kagetnya saya, ternyata tamu saya malam itu adalah teman lama saya. Kebetulan, sekarang dia tinggal tidak jauh dari rumah saya.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan teman lama saya. Akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya. "Dengar-dengar mba butuh pengasuh?, kebetulan saya punya tetangga yang bisa jadi pengasuh anak mba." Kami bersalaman, saya sedikit kikuk ketika si mba yang jilbabnya lebih panjang dari teman saya mencium tangan saya. "Wah, kebetulan sekali ! saya memang butuh pengasuh." Wajah saya jadi sumringah. "Ahamdulillah...." saya berulang-ulang mengucapkan hamdallah dalam hati. Melihat calon pengasuh anak kami, hati saya langsung cocok, melirik ke arah suami, suami menganggukan kepala tanda setuju. Harapan kami mendapatkan pengasuh yang berjilbab benar-benar terwujud.

Empat tahun sudah, si Umi pengasuh anak saya sudah menjadi bagian keluarga kami. Dia mengasuh anak kami dengan penuh kasih sayang, telaten dan sangat sabar membuat saya merasa tidak terlalu khawatir meninggalkan anak saat bekerja. Dia adalah mitra saya dalam membesarkan anak. Si Umi bukan saja sekedar pengasuh yang hanya menjalankan tugas-tugas pokoknya. Bahkan ia menjalankan peran sebagai pendidik meskipun ia bukan jebolan sarjana pendidikan. Dia mengajarkan tentang banyak hal pada putri kami. Membacakan buku cerita, mengajarkan doa-doa, mengajarkan berhitung dan seringkali menasihati anak saya dengan akhlak yang baik.

Melihat anak-anaknya, menjadi penilaian dan cerminan buat saya, bagaimana cara ia mendidik anak. Saya melihat anak-anaknya sangat santun dan pintar. Mereka sudah saya anggap seperti anak sendiri. Demikian pula umi, umi mengasuh anak kami dengan penuh cinta dan kasih sayang dan menganggap Nuha dan Zahwa seperti anaknya sendiri.

Bagi kami, Umi adalah orang yang dikirimkan Alloh untuk kami. Alloh mengabulkan doa kami dengan cepat.
Alloh, Sesungguhnya pertolonganMu sangat dekat kepada hamba-hambaMu yang meminta. Terima kasih Alloh, Kau kabulkan apa yang kami minta untuk pengasuh anak kami. Terima kasih Umi, jasa-jasamu tidak akan pernah kami lupakan.

Surat untuk Ayah Bundaku

Ayah... bunda...

Kalian suruh-suruh aku sholat, tapi mengapa engkau sendiri tak menjalankannya?
Kalian bilang... aku harus jujur, tapi mengapa kau suruh aku berbohong mengatakan bahwa dirimu sedang tidak ada di rumah saat temanmu datang?
Kalian panggilkan guru ngaji untukku, mengapa kalian malah menonton televisi dengan volume yang sangat keras. Itu sangat menganggu sekali ayah... bunda...
Kalian pakaikan aku jilbab, tapi mengapa pakaian bunda begitu seksinya...
Kalian perintahkan aku untuk cium tangan kepadamu... tapi ayah... bunda... sering aku melihat  ayah bunda tak melakukan itu kepada nenek dan kakek.
Kalian menasehati aku untuk menghargai orang lain, tapi  mengapa ayah bunda suka marah-marah sama pembantu di rumah?
Kalian suruh aku belajar... belajar dan belajar sampai aku pingin muntah mendengar perintahmu. Tapi mengapa kalian tak pernah belajar menjadi orang tua yang baik...

Ayah... bunda.....

Maafkan kalau aku jadi anak pembangkang
Maafkan aku jika aku hanya melakukan perintahmu  saat kebetulan kau sedang ada di rumah
Maafkan aku kalau  seringkali menggerutu di dalam hati saat diberi nasihat.
Aku tak butuh kata-kata.
Yang aku butuhkan adalah contoh, suri tauladan, uswah dan entahlah isitlah apa lagi.

Ayah...... Bunda.....

Mengapa kau selalu marah padaku kalau nilaiku jelek. Padahal aku sudah belajar dan berusaha menjawab dengan benar.
Mengapa kau suka banding-bandingkan aku dengan saudaraku atau dengan anak teman-teman kalian. Aku adalah aku... aku ga suka kalau ayah bunda membandingkan aku dengan yang lainnya.
Mengapa kemarahanmu langsung meledak untuk kesalahanku yang kecil?. Aku kan masih kecil, wajar bukan kalau aku melakukan kesalahan?
Mengapa aku harus les ini les itu? Aku lelah.... aku cape.... dengan pelajaranku di sekolah. Kepalaku rasanya mau pecah.
Mengapa kau sering pulang larut malam....Begitu sibukkah? sampai melupakan aku anakmu.  Seringkali aku ketiduran menunggu kalian pulang... aku kesepian, aku ingin kalian berdua berada disampingku.
Mengapa pertanyaanmu seputar... sudah belajar belum?... sudah makan belum?... sudah mandi belum?...Padahal aku ingin kau menanyakan tentang aku lebih dari itu.
Mengapa kau sering memaksaku untuk pilihan yang tak ku sukai? Beri aku kesempatan untuk memilih sesuai dengan kata hatiku.
Mengapa kau selalu menganggap aku anak kecil? Lihatlah tubuhku sudah semakin  besar, aku ingin diperlakukan sebagai anak besar.
Mengapa kau seringkali lebih asyik dengan Black Berrymu, berlama-lama di laptopmu, berlama-lama menerima telepon dari temanmu  dibandingkan bermain dengan aku.
Mengapa aku diantar dan dijemput ke sekolah hanya dengan sopir?  Aku iri melihat teman-temanku yang diantar jemput sama orang tuanya.

Ayah... bunda...

Apa yang kalian inginkan di dunia ini?
Aku... materi... atau karir kalian?
Apakah aku  hanya sekedar pelengkap hidup kalian?
Memangnya aku ini robot yang hanya sekedar menjalankan perintah
Aku ingin kau mengerti tentang aku....
Aku ingin perhatian....
Bukan sekedar materi...
Aku ingiin kau sisihkan sedikit saja waktumu untukmu...
Sedikit... tidak banyak..


Ayah.... Bunda

Bisakah?

Nuha Harus ke ICU?



Untuk menceritakan pengalamanku ini, aku akan memberi inisial  rumah sakit  yang berada di bilangan Ciputat ini  dengan nama RS A,  dan dokter anak yang menangani Nuha dengan sebutan dr H . Ia adalah dr anak full timer di tempatnya bekerja.

Sudah 3 bulan batuk Nuha tak kunjung sembuh,  kian hari tubuh kecilnya semakin lemah, kurus tak berdaya .  Tiap ku ukur dengan termometer, suhu tubuhnya menunjukkan  kisaran angka 39-40 derajat celcius. Matanya tak berbinar seperti biasanya.... redup seperti menahan sakit. Nafasnya kian cepat... tersengal-sengal bak habis lari marathon beribu-ribu kilometer. Ku hitung  kecepatan nafasnya dengan stop watch, Masya Alloh... 60 kali permenit ! yang normalnya sekitar 40 kali permenit. Begitulah gejala pnemonia (radang paru-paru) yang sangat mirip dengan apa yang dialami oleh anak yang kami kasihi ini.

Dengan Kondisinya yang semakin buruk kami membawa  Nuha ke RS A. Mengapa kami memilih rumah sakit yang belum lama diresmikan ini? Karena meskipun baru,  RS A adalah cabang dari rumah sakit yang terletak di wilayah Tangerang. Selain itu rumah sakit ini merupakan rekanan perusahaan asuransi yang kami ikuti.

Sehari sebelumnya kami sudah ke RS A,  namun karena dokternya tak kunjung datang, akhirnya kami pulang dan memilih  RS. Buah Hati.Sebenarnya kami sudah cocok dengan dokter Fajar dari RS Buah Hati, yang begitu telaten dan teliti memeriksa anakku. Dia juga enak diajak diskusi. Saat dokter Fajar menyuruh agar Nuha langsung di rawat inap,  kami sebenarnya setuju, tapi sayangnya RS ini bukan  rekanan asuransi kesehatan yang kami ikuti. Akhirnya, dr Fajar memberikan rekomendasi dan membuat surat kepada temannya yang sesama dokter di RS A.

Keesokan harinya...

Kami datang ke RS A  dengan H2C (harap-harap cemas).  Kesan pertama aku melihat dr Hi,  dokter ini kelihatan sedikit angkuh. Aaahhh... mudah-mudahan penilaianku salah.

Mulailah kami menceritakan kondisi anak kami dengan menyertakan surat dari dr Fajar. Pintaku dalam hati.... mudah-mudahan dokter ini memang tepat untuk anakku.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan kepada Nuha. Dokter bilang, "Anaknya boleh dibawa pulang, ini saya kasih obat dan bisa diinhalasi di rumah ya...." Dengan muka bingung, kami saling berpandangan.

Aku membatin dalam hati. Apa gak lihat nih dokter.... anaknya  udah lemes banget. Tanpa dikomandoi, aku dan suami menjawab secara bersamaan. "Nngga dok... mending di rawat aja, lagian dr Fajar sudah membuat surat yang isinya anak kami harus di rawat inap"

Setelah kami ngomong seperti itu, dr H kelihatan sibuk nulis. Beberapa kali dia kasih kode dengan tangannya.... yang berarti, aku gak boleh banyak nanya."Bu.... bagaimana saya bisa konsentrasi nulis,  kalau ibu nanya terus?"

"Haaaaahhhh...." Baru pertama kali nih aku diginiin sama dokter . Lama kami menunggu dalam keheningan. Menunggu dokter itu selesai nulis (Sampai bingung... dokter sebenarnya nulis apa sih).

"Bu... anaknya harus masuk ICU yah, soalnya kelihatannya udah lemes banget... nafasnya aja  sampai 60 kali permenit" Kata dr A menyakini kami.

"Haaaaa...???."  Lagi-lagi  dokter ini bikin kami terkejut-kejut. Bukannya tadi dia bilang anak kami bisa dibawa pulang, dan bisa diuap di rumah???.... Laluuu???? kenapa keputusannya begitu cepat berganti. Huuffhh... kaya gak pake mikir... batinku dalam hati.

Tiga huruf yang bisa kami eja sendiri  I C U ? Parah bangetkah?

"Yaaa... bagaimana baiknya dokter aja lah." Suamiku ternyata lebih dulu yang menjawab. Padahal  aku gak setuju.  "Aduuhh.... kayanya Nuha gak perlu  ke ICU segala deh... dia hanya butuh OKSIGEN saja. lagi-lagi aku membatin dalam kebingungan."

Setelah itu, kami masuk ke ruang IGD, buat pasang infus. Aku dan bapakku menunggu Nuha sedangkan suamiku mengurus administrasi ke bagian rawat inap.

Butuh banyak orang untuk menahan Nuha. Beberapa kali jarum infus patah karena begitu hebatnya dia memberontak. Alhamdulillah, akhirnya bisa terpasang juga. Aku tidak tega melihat Nuha nangis bercucuran air mata. Aku merasakan kesedihannya. Mungkin dia masih trauma dengan jarum suntik.

Ya...baru 6 bulan yang lalu ia  dirawat di RS Premier Bintaro dengan penyakitnya yang sama.

Melihat para suster yang kasak-kusuk, aku jadi curiga. "Gak salah nih dr H?.... coba tanya lagi ke dr H deh...." kata suster yang kelihatannya lebih senior.  Aku menangkap ada ketidak beresan, spontan aja aku bicara pada suster yang ada di dekatku. "Ada apa niihhh.." "Ngga.. ngga ada apa-apa bu." suster itu menjawab sekenanya.

Lalu tak berapa lama kemudian suster bilang." Bu anak ibu mau diambil darah untuk dianalisa kadar okigen dalam darahnya (AGD). Perlu ibu tahu, suntikan ini sangat menyakitkan, bahkan untuk ukuran orang dewasa pun akan merasa kesakitan."

Tanpa banyak berpikir, aku menolak tindakan tersebut.  "Maaf ya sus, kayanya ga usah deh... khawatir anak ini malah ngambek ngga mau dirawat di rs  gara-gara disuntik. Tahu gak sus... merayu anak ini, supaya  mau dirawat inap,  butuh penjelasan dan rayuan yang lamaaaaa sekali."  Aku jelaskan alasanku  menolak tindakan dari RS ini. "Ya  sudah .....kalau ibu tidak bersedia, ibu harus menandatangani lembaran ini ya."

"Huuffhhh..." Aku menarik nafas dan mengeluarkannya dengan  perlahan. Aku mengelus dadaku atas beberapa hal yang tak bisa aku terima di hatiku dalam menangani anakku ini.

Bersamaan Nuha masuk ke ICU aku pun memeriksakan diri ke ruang poliklinik. Kondisi kesehatanku pun sebenarnya sedang kurang baik.  Sambil menunggu antrian, aku sms suamiku. "Sebenarnya aku ga setuju kalau Nuha harus ke ICU..... jangan terlalu menurut apa kata dokterlaaah...." Begitulah bunyi smsku, yang langsung dibalas. "Kita mau pindah ke ruangan rawat inap, Nuha gak mau di sini, Bunda cepat ke sini ya..."Lega rasanya membaca sms dari suamiku.Tak pernah terbanyang dibenakku ruang ICU seperti apa.

Menyeramkan. Itulah kesanku saat memasuki ruangan ini. Pantas saja... Nuha tidak mau dipasang alat-alat yang penuh  kabel ke tubuhnya. Aku saja.... merasa aneh dengan benda-benda ini.

Senyuman tipis menghiasi wajah lelahku. Bagus Nak, kamu gak jadi bermalam di ruang ini.

Sungguh, campur aduk rasanya kalau Nuha sudah kambuh. Mendadak ia menjadi "Nona Tidak Mau.." Disodorkan makananan dan disuruh  minum obat, selalu ditolak. Setiap aku  tanya pasti dijawab gak mau. Di ukur suhunya langsung geleng. Pernah merayu dia untuk minum obat sampai  berjam-jam.  Kalau sudah begitu....... periiiiih rasanya lambungku.

Ketika sudah berada di kamar perawatan, aku meluapkan perasaanku yang sejak tadi aku pendam. "Yah, tadi ayah dengar sendiri kan, kalau Nuha disuruh pulang sama dokter H?  pas kita suruh dirawat aja, kenapa dr H  malah nyuruh  Nuha ke ICU ? " Suamiku mengamini perkataanku.

Tidak berapa lama kami mengobrol.  Ibu  di sebelah, ke tempatku. "Bu, disuruh  sama dr H ke ICU ya ?  Anak saya juga disuruh ke ICU.  Kemarin pasien sebelah saya juga disuruh dr H masuk ICU. Kenapa ya... dr H gampang banget  nyuruh pasiennya ke ICU. Saya lagi binguuung banget bu, kalau anak saya harus  ke ICU."  Wajah ibu itu memang terlihat kebingungan. Sebagai orang awam, tentunya akan bingung dalam  memutuskan sikap,  jika dihadapkan dengan kondisi seperti itu.

Anak ibu sakit apa?" tanyaku. "Anak saya baru 1 tahun 3 bulan, sakit infeksi pernafasan. "Bla...bla.....: Begitulah kami sebagai konsumen rs ini saling curhat.  Singkat cerita, saya memberi masukkan padanya bahwa sebagai  pasien, perlu kritis, apalagi untuk rs yang masih baru.... tentulah mereka ada hitung-hitungan untuk segera balik modal.

Keesokan harinya, anak ibu itu dipindahkan ke ruang ICU.  Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti anjuran dokter. "Mudah-mudahan anaknya cepat sembuh ya bu." Kataku mengiringinya  ke luar kamar.

Suatu waktu, ketika Nuha akan dipasang oksigen.  Dia menolak mentah-mentah. Aku dan suster sudah mencoba berbagai cara untuk menyakini Nuha, kalau dipasang selang oksigen tidak akan menyakitinya. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk merayunya.

Emosiku sudah gak karuan. Antara sedih, capek dan  kesal jadi satu.   Rasa khawatirku makin membuncah dan bertambah-tambah, tatkala melihat wajahnya yang kian pucat pasi dan nafasnya semakin sesak. Kenapa sih nak... kamu gak nurut sama suster dan bunda... semua tindakan yang mau dilakukan oleh suster selalu kau bilang tidak. Bunda sedang sakit juga nak, cape rasanya merayumu untuk bilang: mau.

"Bu, nanti saja deh dipasangnya, kalau Nuha sedang tidur".  Suster memecahkan lamunanku yang sejak tadi terus menatap wajah anakku. "Oh.. iyaa, suster, nanti aku coba deh. Makasih yaaa.." suster tersenyum kepadaku dan meninggalkan ruang kamar.

Belum lama suster itu ke luar dari kamarku, ia kembali lagi. 'Ibu dipanggil dr H, dia mau bicara sama ibu.... Nuha biar sama saya." Baru saja aku berniat melangkahkan kaki, Nuha nangis dan memohon untuk tidak ditinggalkan olehku. Melihat kondisi tersebut, aku meminta suster supaya dokter yang ke sini saja.

"Bu.... ibu bersedia kan kalau anaknya diikat, supaya dia mau dikasih oksigen?" Tiba-tiba dr H muncul. "Aduuuhh ibu... saya yang panik lihat kondisi anak ibu  looh.. " Dokter H mulai lagi dengan sederet kata-kata yang membuat sedih hatiku. "Silakan saja dok.. saya juga sudah nyerah.." Jawabku pasrah.

Dokter itu mendekat padaku. "Ibu berani sekali... memutuskan untuk tidak di ICU... waktu itu ibu juga menolak di AGD," kata dokter H. "Loh... dok, kami juga sudah mencoba ke sana, tapi anaknya yang tidak mau." Jawabku.

"Ibu yang memutuskan.... bukannya nurut sama anak..." Dokter itu berkicau lagi.  Aku mencoba untuk tenang dan  bersabar menghadapi dokter H. Aku bisa saja membalikkan kata-katanya. Tapi aku urungkan karena khawatir akan mengganggu Nuha dan pasien lain.

"Ibu tahu ngga... penyakit anak ibu seperti flu burung.. di Asia, merupakan penyakit terbesar yang mematikan." Sudah.. nanti ibu diskusikan lagi sama bapak... besok anak ibu ke ICU saja ya..."  Dokter berkata seperti itu, seolah-olah aku seperti orang yang buta dan tidak tahu menahu tentang pnemonia dan cara menanganinya.

Dia membisikan sesuatu. "Baru seminggu yang lalu, ada korban yang meninggal gara-gara penyakit ini, karena orang tuanya tidak mau mengikuti saran saya untuk ke ICU." Lalu... dokter itu langsung pergi sambil meninggalkan kata-kata ini. "Ibu kan pakai asuransi, jangan khawatir bu... pasti dicover...." suaranya hilang bersamaan kepergiannya dari kamarku.

"Deeggg....!!" Hatiku sedih sekali mendengar perkataan dokter yang sangat tidak simpatik ini. Membayangkan Nuha diikat, rasanya tidak tega.

Untung ada suster yang sangat sabar membujuk Nuha untuk mau dipasang oksigen.  Menit-menit di jam dinding telah berlalu.... entah sudah berapa lama suster ini merayu Nuha, tentunya juga dibantu dengan aku.  Suster pun memberikan hadiah pulpen angry bird dan stiker buat Nuha. Akhirnya.... Nuha mau juga dipasang oksigen. Syukur tiada henti aku ucapkan pada Alloh. Berkali-kali aku ucapkan rasa terima kasihku pada suster.

Sore ini, setelah kejadian tadi siang. Aku dan suami menyampaikan keluhan dan keberatan kami atas tindakan dokter H. Aku ajukan komplain kepada kepala ruangan RS A, aku ceritakan kepadanya bagaimana perlakuan dan perkataan dokter H mulai dari penanganan pertama di poliklinik sampai kejadian siang tadi.  Aku juga sharing tentang penanganan dokter anak dari  rs-rs  yang lain untuk kasus anakku. Menurutku, tindakan dr H tidak menenangkan keluarga pasien, justru malah menakut-nakuti. Padahal aku sudah berusaha menenangkan diri dan tidak  tidak grasa-grusu.

Di rumah, meskipun aku lelah. Aku berusaha bangun untuk sholat lail. Mengadu kepada Sang Khalik. Aku berharap ada kemajuankondisi kesehatan i Nuha. Mukenaku basah..... dengan air mata penuh pengharpan kepada Yang Maha Lembut dan Maha Penyayang.

Keesokan harinya, aku membawa buku mewarnai dan krayon. Alhamdulilah sesampaiku di kamarnya Nuha, aku lihat kondisi Nuha sudah membaik.  Bahkan menurutku perubahan kondisinya sangat jauh sekali dari yang kemarin. Nuha dan aku  asyik bercanda dan  ia sedang mewarnai  bukunya,  saat suster memberitahu aku, kalau  dr H ingin bicara denganku di ruang konsultasi. Lagi-lagi Nuha tidak mau ditinggal. Akhirnya Nuha aku gendong sambil membawa perlengkapan mewarnainya.

Ia minta maaf atas semua perlakuannya padaku, dan menyakini aku bahwa sikap yang diambil bukan untuk mencari keuntungan.  Aku tetap bersikukuh untuk minta ganti dokter,  saat  ia bertanya, apakah aku benar-benar mau ganti dokter.  Aku memaafkannya, namun tidak akan membiarkan anakku tetap ditangani olehnya.

Bagiku perubahan kondisi yang ditunjukkan Nuha adalah sebuah keajaiban. Bahkan kini ia sedang asyik mewarnai di meja konsultasi. Padahal kemarinl, dokter tersebut terus memaksa kami untuk segera memasukkan Nuha ke ICU.

Kalaulah dokter itu bisa mengambil pelajaran... bahwa dokter hanyalah manusia...
Ada kekuatan lain yang bisa menyembuhkan seseorang...
Yahh... kekuatan doa dari seorang ibu.

Untunglah kami tidak jadi membawa Nuha ke ICU. Ternyata setelah googling. Aku mendapatkaninformasi bahwa  anak menjadi berhalusinasi ketika ia sedang di ruang ICU. Tentu juga pasti ada efek dari obat penenang bagi diri anak.

Hee Ah Lee dan Kekuatan Cinta Seorang Ibu

Bagaimana jika janin dalam kandungan anda telah divonis dokter akan lahir dalam keadaan cacat, dan dokter menyarankan supaya tidak melanjutkan kehamilan lagi. Ditambah lagi dengan penolakan dari keluarga anda, yang menganggap bayi yang lahir cacat dianggapnya sebagai aib.


Inilah yang dialami oleh Woo Kap Sun, ibu Hee Ah Lee. Melalui pemeriksaan USG, tampaklah janin Hee Ah lee yang tidak sempurna. Jari-jarinya tidak terbentuk normal, begitupula dengan pertumbuhan kakinya. Saat mengetahui kondisi bayinya, hatinya bergejolak dan pikirannya kacau. Harus bagaimana?

Tidak hanya itu, ketidaksempurnaan sang jabang bayi mendapat penolakan dari keluarga besarnya. Mereka menganggap bayi yang dilahirkan dalam keadaan cacat adalah aib. Mereka meminta Hee Ah Lee diserahkan ke panti asuhan.

Woo Kap Sun pun bertekad mempertahankan bayinya dan dengan kekuatan cintanya, akan membesarkan bayinya itu. Ibu Hee Ah Lee melihat kalau Tuhan telah memberikan hadiah terindah untuknya. Tuhan telah memberikan kesempatan untuk memiliki anak, walaupun anak yang akan dilahirkannya cacat.

Akhirnya Hee Ah Lee lahir ke dunia ini . Ia lahir dalam keadaan cacat dan mengalami "lobster claw syndrome" dan keterbelakangan mental. Sang ibu adalah seorang perawat yang merawat dua orang cacat sekaligus. Ayah Hee Ah Lee harus duduk di kursi roda dan menjadi lumpuh seumur hidup akibat kecelakaan saat bertugas. Cacat tulang punggung yang dideritanya sebenarnya tidak memungkinkan untuknya memiliki anak. Hal ini pulalah yang menjadi alasan Woo Kap Sun untuk mempertahankan kehamilannya setelah selama 7 tahun menanti buah hatinya.

Tak terbayangkan sulitnya sang ibu merawat Hee Ah Lee seorang diri, ketika suaminya akhirnya meninggal dunia saat Hee Ah Lee masih kecil. Namun, ujian yang begitu berat tidak membuat sang ibu patah semangat dalam membesarkan Hee Ah Lee. Ia justru ingin melakukan hal yang berarti untuk kehidupan anaknya. Dengan kesabaran, keuletan dan rasa percaya diri , Ibu Hee Ah Lee melewati masa-masa yang sulit untuk membuat Hee Ah Lee lebih berarti.

Ketika usia Hee Ah menginjak tujuh tahun, Woo Kap Sun berinisiatif melatih otot motorik jari Hee Ah. Anda bisa bayangkan, betapa sulitnya menjadi seorang pianis dengan hanya memiliki 4 jari. Betapa Hee Ah Lee harus bekerja keras dalam berlatih memainkan piano dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya.

Kesulitan lain yang muncul, kakinya yang hanya sebatas lutut tidak bisa menjangkau pedal piano. Sang ibu mencari akal, akhirnya dia mendapat informasi bahwa di Jepang ada yang membuat dan menjual pedal khusus. Ia pun berangkat ke Jepang dan membeli pedal tersebut.

Ketekunan, kegigihan dan kesabaran Woo Kap Sun membuahkan hasil. Hee Ah Lee berhasil dan mahir memainkan piano. Bukan hanya itu,kini Hee Ah Lee menjadi seorang pianis dunia yang manggung di banyak negara. Walaupun semula, tidak terpikir oleh Woo Kap Sun ingin menjadikan Hee Ah sebagai pianis terkenal.

Inilah Hasil dari kekuatan cinta seorang ibu yang memiliki anak yang cacat. Hee Ah Lee menjadi inspirasi buat semua orang dan sang ibu yang berada dibalik kesuksesannya , menjadi motivator bagi para ibu yang memiliki anak cacat. Sungguh tulus cinta kasih yang ditunjukkan oleh ibu Hee Ah Lee.

Perkembangan Janin dalam Perut Ibu

Menonton video rekaman janin dan kehidupannya di dalam perut ibu, membuat saya semakin sadar akan kebesaran Alloh. Proses pembuatan seorang anak manusia, dimulai dari setetes air yang hina. Namun, setelah anak manusia lahir ke dunia, mereka justru banyak yang sombong dan lupa bahwa ia berasal dari air yang hina. Di rahim ibu, selama 9 bulan janin terus berkembang hingga saatnya tiba ia melihat dunia yang fana ini.

Terdapat beberapa ayat-ayat Alquran yang berkaitan tahapan pertumbuhan dan perkembangan janin

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang ituKami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan Ia makhluk yang (berbentuk)lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik."
(QS Al-Mu'minun: 12-14)

Ayat ini menjelaskan tentang fase atau tahapan-tahapan pertumbuhan danperkembangan janin yaitu mulai dari fase nutfah (sperma), fase alaqah (gumpalan darah), fase mudhgah (kumpulan daging), fase idham (tulang), fase pembalutan tulang dengan daging, dan fase pembentukan di mana janin mulai bergerak-gerak setelah minggu ke-12 dari usianya.

Lapisan Pelindung Janin
"..Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga lapisan kegelapan. (QS.Az-Zumar :6)
Tiga lapisan kegelapan ini dalam ilmu medis dapat diartikan sebagai pertama dinding perut anterior, kedua lapisan uterus dan ketiga membran amniochorionic. Walaupun ada interpretasi lain mengenai tiga lapisan ini yaitu diartikan sebagai tiga lapisan uterus, endometrium miometrium, dan perimetrium.

"...(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamudan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai yang sudahditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, "..(QS.Al-Hajj :5)

Pada ayat lain Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan,dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatupada sisi-Nya ada ukurannya. (QS Ar-Rad: 8) Ayat-ayat ini berkaitan dengan Teratologi yaitu sub divisi embriologi yang membahas tentang perkembangan abnormal yang menyebabkan anomali dan malformasi.Di mana bahwa akibat penyebab tertentu (faktor internal maupun eksternal) dapat terjadi pertumbuhan dan perkembangan janin yang tidak sempurna atau abnormal.

Sperma Penentu Jenis Kelamin"Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Dari air mani apabila dipancarkan.
(QS.Al-Qamar:45-46)

Kemudian di dalam ayat yang lain :" Maka hendaklah manusia memperhatikan dariapakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar." (QS At-Tariq:5-6)

Kedua ayat ini menjelaskan tentang indikasi medis bahwa sperma membawa sifat kelaki-lakian dan kewanitaan. Dari spermalah Allah menjadikan sepasanglaki-laki dan perempuan dan Dialah yang menentukan janin laki-laki atauperempuan dari sperma tersebut.

Dalam ilmu Embriologi dan Genetika sendiri diketahui bahwa sel telur perempuan (ovum) akan selalu memuat kromosom (X) secara murni. Sedangkan sperma laki-lakisetengah darinya memuat kromosom (Y) / kromosom sex laki-laki dan setengahnyalagi memuat kromosom X / kromosom sex perempuan.

Sehingga bisa dikatakan ada sperma jantan dan ada sperma betina. Ketika terjadi pembuahan, apabila sperma yang membuahi ovum adalah sperma yang memuat kromosom (Y) maka janin tersebut adalah laki-laki (XY). Tetapi bila sperma yang membuahi mengandung kromosom (X) maka janin tersebut menjadi perempuan (XX)

Selain ayat-ayat di atas juga masih terdapat ayat Alquran lainnya yang berkaitan dengan bidang ilmu Embriologi misalnya surat Ali Imran: 6, Az-Zumar:49, An-Najm: 45-46, Al-Insan: 2 dan lain sebagainya

10 Manfaat Membacakan Buku pada Anak


 Dapat meningkatkan :
 
1. Kemampuan mendengar
2. kemampuan berkomunikasi verbal
3. Kemampuan konseptual
4. Kemampuan memecahkan masalah
5. Daya imajinasi dan kreatifitas
6. EQ (Kecerdasan Emosi)
7. Nilai-nilai moral
8. Wawasan
9. Pengetahuan ragam budaya
10. Mendapatkan relaksasi jiwa dan raga

Serpihan Kasih untuk Anakku



Anakku…

Kau mulai belajar berjalan

Langkah-langkah telapak kaki mu terdengar lucu

Tertatih-tatih kau terus berjalan dan berjalan

Senyummu terus mengembang hilangkan keraguan

Asamu tak pernah padam meskipun kau jatuh bangun

Pernah kau meringis kesakitan karena luka kecil di lututmu

Bunda hanya tersenyum dan berkata, bangun nak.. bangun….

Kedipan matamu menahan air mata tanpa suara

Mengirim sebuah pesan.. mengapa kau tak bantu aku bunda?

Inilah nak.. cara bunda mengajarimu untuk mandiri

Suatu saat nanti, kau akan melihat dunia ini lebih luas daripada yang kau kira

Kau lihat langit bukan hanya luas tanpa batas

Namun langit itu tinggiiii sekali

Ku berikan sayap-sayap kepadamu
Karena tak selamanya bunda ada disampingmu

Senin, 29 Oktober 2012

Agar Anak dapat Bersikap Sopan dan Santun


Memiliki anak yang berperilaku sopan adalah dambaan setiap orangtua. Tentunya kita akan merasa malu jika mereka melakukan sikap yang kurang sopan terhadap orangtua maupun orang lain. Pastilah orang akan menilai kita tidak bisa mendidik anak dengan baik. Meskipun pada kenyataannya, lingkungan luar ikut andil dalam membentuk perilaku anak yang kurang sopan


Pergaulan anak dengan teman-teman yang kurang mengindahkan norma dan sopan santun juga ikut bagian dalam perubahan sikap anak. Belum lagi dengan begitu derasnya budaya barat yang masuk seiring dengan adanya globalisasi, menambah sederet permasalahan dalam mendidik buah hati. 

Mungkin anda pernah mendengar omelan dari orangtua kita dengan kalimat seperti ini, "Waktu Ayah/Ibu masih kecil rasanya tidak sebandel kamu deh, koq sekarang punya anak susah sekali diaturnya." atau "Anak sekarang koq sukanya melawan orangtua ya..." atau.... "Ayah/Ibu kalau dibilangan orangtua nurut,gak seperti anak sekarang... senang membantah.." dan masih banyak lagi ungkapan seperti itu yang keluar dari mulut orangtua kita. 

Melihat tantangan yang begitu besar, apakah orangtua menyerah dengan keadaan di atas?
Usaha apa saja yang dapat dilakukan oleh orangtua agar anak dapat bersikap sopan dan santun?
  1. Mulai dari yang sederhana. Membiasakan anak untuk mengucapkan kata "tolong", "maaf" dan "terima kasih." Ucapkan kata tolong ketika kita sedang meminta bantuan dan mengucapkan terima kasih jika si kecil melakukan sesuatu untuk kita. Jangan pernah segan untuk minta maaf jika memang kita bersalah. Jika anak terbiasa mengucapkan tolong, terima kasih dan maaf dalam kehidupan sehari-hari ini akan menjadi kebiasaan yang baik untuknya.
  2. Sosio drama atau bermain peran. Setiap anak pasti senang bermain peran bersama teman-temannya. Pernah kan kita melihat, anak kita sedang bermain ibu-ibuan, masak-masakan atau jual beli bersama teman sebayanya? Ini adalah fase perkembangan yang dilalui oleh setiap anak. Untuk mendidik anak memiliki perilaku yang sopan, bisa juga dengan cara bermain peran. Bagaimana caranya? orangtua ikut bermain peran bersama dengan anak. Selain dapat menghibur hati dan mengakrabkan hubungan orangtua dengan anak juga dapat menanamkan nilai-nilai kesopanan pada diri anak. Ketika kita ingin mengajarkan tentang adab bertamu maupun menerima tamu, kita dapat bermain peran sebagai tamu dan si anak menjadi tuan rumahnya, demikian sebaliknya kita menjadi tuan rumah dan si anak menjadi tamunya. Kita buat skenario tentang situasi orang yang sedang bertamu. Bisa kita buat ceritanya ada tamu yang sopan dan ada tamu yang tidak sopan. Setelah anak bermain peran, kita dapat mendiskusikan jalan ceritanya dan anak memberikan pendapat.
  3. Ingatkan jika anak lupa. Pembentukan sikap dimulai dari balita sampai usia sekolah dasar. Jangan pernah putus asa dan bosan untuk mengingatkan dan terus mengingatkan ketika anak menunjukkan sikap yang kurang sopan.
  4. Beri pujian. Jika anak berlaku sopan ketika bertamu atau mempersilakan tamu yang datang ke rumah, jangan pelit untuk memuji atau memberikan penghargaan terhadap sikap anak yang telah menunjukkan sikap yang terpuji.
  5. Menjadi contoh yang baik buat anak kita. Ada pepatah mengatakan "Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga." Artinya kurang lebih seperti ini, "Sikap dan perbuatan orangtua pasti tidak berbeda jauh dengan anaknya." Betul tidak?
Melihat tantangan dan masukan negatif dari luar hendaknya orangtua perlu membangun dasar yang kuat pada diri anak terutama dari lingkungan keluarga. Mengajarkan anak untuk berperilaku sopan dimulai dari lingkungan keluarga, bahkan semenjak anak lahir. Setiap anak adalah peniru yang ulung. Oleh karena memiliki sifat peniru inilah, orangtua perlu menjadi model yang baik untuknya. Bagi anak-anak yang masih kecil mereka akan meniru semua perilaku orangtuanya, baik perilaku kita yang baik maupun yang kurang baik. Selain memberikan contoh yang baik, perlu juga membekali mereka dengan pengetahuan dan tidak pernah bosan untuk memberikan nasihat agar ia bersikap sopan kepada siapapun. Jika sikap sopan dan santunnya telah terbentuk sejak kecil, Insya Alloh sikap ini akan terbawa sampai ia dewasa dan dampaknya bukan saja dirasakan oleh orang lain tetapi akan dirasakan oleh dirinya sendiri.

Makhluk Kecil dalam Perutku

Baru saja kau tohok ulu hatiku
Sekarang kau malah menendangku
Sebenarnya… apa maumu??

Kau balas belaian tanganku dengan hentakkan tanganmu…
Kalau kau mau…
Ayo!! sikut aku dengan tanganmu….

Lama ku tunggu reaksi darimu…
E..e…eeh Kau malah diam seribu bahasa

Sudahlah… aku ingin istirahat sejenak….

Aduh…..
Kini kau tonjok aku dengan hebatnya…
Hampir-hampir aku dibuat limbung olehmu

Kenapa kau tonjok aku???
Untung tidak kena lambungku…

Tapi sayangku….
Aku menikmatinya koq..

Kamu juga senang kan??
Kamu pasti senang dengan permainan yang tadi…
Kamu pasti merasa nyaman di dalam sana…

Bener kan??
Buktinya…
Kamu nangis sekeras-kerasnya…
Waktu kau keluar dari rahimku.

Minggu, 28 Oktober 2012

Anak Nakal atau Banyak Akal?

Anak diciptakan dengan segudang potensi dan keunikan masing-masing. Namun, sadarkah kita, sebagai orang tua atau guru,  ternyata kita punya andil dalam mematikan atau membonsai potensi anak yang merupakan anugerah terbesar bagi dirinya. Kita terlalu cepat memberikan label kepada mereka dengan sebutan anak nakal. 

Layakkah tingkah dan polah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal?

Ataukah mereka sebenarnya......
Anak yang kreatif dan memiliki kecerdasan yang luar biasa namun kreatifitasnya tak sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita.
Anak yang memiliki energi "ekstra" namun kita tidak dapat menyalurkannya dengan baik. 
Anak yang memiliki ide-ide yang " tidak biasa" namun kita menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diatur.

Anak yang tidak bisa diam, suka berbuat ulah dan sering mengabaikan nasihat, cukup menguras tenaga, pikiran dan waktu kita. Kita jadi sering merasa jengkel dan senewen. Hal ini dialami oleh saya. Namun seiring waktu berjalan, saya baru menyadari, kekesalan saya terhadap tingkah laku anak, dikarenakan kurang bisanya saya menyelami dunia mereka dan terlalu berharap tingkah laku mereka sejalan dengan keinginan saya.

Mari disimak beberapa cerita yang menggambarkan kepolosan, ketangguhan, kreativitas dan ide-ide  cemerlang dari seorang anak berusia 4 tahun.

Siang itu, Nuha ingin bermain ke luar, sedangkan kondisinya sedang sepi, matahari bersinar dengan terik dan saya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Saya berusaha memberikan pengertian padanya, tapi Nuha tetap memaksa. Akhirnya pintu saya kunci dan tak lupa menyelot kunci pintu yang kami taruh paling atas pintu. Lalu, kuncinya saya gantung di atas tembok yang tak dapat terjangkau oleh anak usia 4 tahun. Pokoknya saya anggap semua itu aman dari jangkauan Nuha. Apa yang terjadi? Nuha memanjat meja lalu mengambil kunci yang digantung di tembok. Menyadari kunci sudah ada di tangannya saya hanya memperhatikan saja. Dalam hati, mana bisa anak sekecil itu bisa membuka pintu. Lalu....Nuha memasukkan kunci ke lubangnya dan mencoba beberapa kali memutar-mutar kunci. "Klik...." bunyi kunci terbuka. Subhanallah, bisa juga dia, batinku dalam hati. Oke deh, kuncinya bisa terbuka, mana bisa nuha membuka slot kunci yang kami taruh di atas. Untuk kedua kalinya aku mengecilkan kemampuannya. Lalu, Nuha ambil kursi dan menyeret sapu. Ia berdiri di atas kursi sambil berusaha membuka slot pintu dengan menggunakan gagang sapu. Lama juga ia berusaha, tapi sepertinya nuha tidak cepat berputus asa. "Klik..." suara slot pintu terdengar. Dengan wajahnya yang bangga ia melihat ke arahku. Mimiknya menggambarkan kepuasan diri telah berhasil menunjukan aksinya di depan mataku sendiri. Sementara waktu, saya biarkan ia merayakan keberhasilan dirinya dengan bermain di luar. Saya menghentikan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Dengan hati yang kesal dan perasaan kagum, akhirnya saya menemaninya bermain.

"Bun, Nuha mau merapikan tempat tidur... tolong ambilkan sapu lidinya dong...." Sambil mengangkat telunjuknya ke atas lemari baju. "Biar bunda saja yang merapikan tempat tidur, bunda khawatir, debunya bikin kamu batuk." Saya tidak mengindahkan omongannya dan terus menyetrika baju. Hanya sekali saja Nuha meminta. Lalu ia lari ke belakang. Di tangannya sudah ada sapu ijuk kemudian ia menarik kursi kecil. Mulailah Nuha naik kursi dan menggoyang-goyangkan sapu ijuk ke arah sapu lidi yang aku letakkan di atas lemari. Sapu lidinya akhirnya bisa dijatuhkan. Tanpa banyak bicara, ia mulai merapikan sprei dan tempat tidur. "Bunda, tempat tidurnya rapikan?" Nuha menarik tanganku supaya masuk ke kamar. Hasilnya? Subhanallah, aku tidak percaya ini dilakukan oleh anak usia 4 tahun. Spreinya diatur dengan sangat rapi.

 Di sebuah restoran. Kami memilih meja makan yang panjang dan dengan beberapa kursi di dalamnya. Selesai makan, kami bergantian sholat zuhur. Saya kebagian shift yang kedua. Saya biarkan Nuha menggeser-geser kursi dan merapatkan kursi satu sama lain sehingga kursi berbentuk letter U. Setelah semua kursi sudah rapat, Nuha mulai naik ke kursi dan berjalan di atasnya. Sambil mengitari kursi yang sudah ia buat merapat, Nuha berjalan sambil menghitung kursi yang ia injak. Saya tidak peduli dengan pandangan orang di sekitar saya. Mungkin, sikap Nuha saat itu terlihat kurang sopan. Namun, saya memandangnya, ia cukup kreatif menciptakan suasana yang menyenangkan buat suasana hatinya.

Jika anda datang ke rumah saya, jangan kaget bila keadaan rumah kacau balau. Boneka bertebaran di mana-mana, meja lipat (meja gambar) dalam keadaan satu kaki terbuka dan satunya lagi tertutup (jadi kelihatan miring), kursi dalam keadaan terbalik. Saat itulah, Nuha dan adiknya sedang asyik bermain, seolah-olah mereka sedang berada di taman bermain. Boneka-boneka mereka anggap teman-teman mereka, meja lipat seolah-olah perosotan dan kursi terbalik adalah tangganya. Begitulah keadaan rumah kami, hanya sebentar saja rapinya. Jika anda termasuk orang yang senang kerapian, mungkin merasa aneh dengan pemandangan ini. Tapi begitulah, saya biarkan mereka berekspolarasi dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berimajinasi.

Masuk ke dapur saya merasakan lantai sangat licin, hampir saja saya jatuh terpeleset. Saya melihat lantai sudah tergenang dengan minyak goreng. Saya baru ingat, pagi tadi minyak goreng isi ulang, baru saja saya buka dan hanya sedikit saja digunakan untuk menggoreng. Ya Ampun, minyak goreng yang isinya 2 liter hanya tersisa sedikit.  Saya langsung teriak, "Nuhaaaaaa...... Astagfirullah aladziim, Allohu Akbar, Masya Alloh..." mulut saya tidak berhenti-hentinya mengucapkan istighfar.  Di atas mesin cuci saya mendapati baju pergi milik adiknya penuh dengan noda minyak bertumpukkan dengan kain lap yang kondisinya tidak berbeda. Rasa lelah dan  membayangkan empuknya tempat tidur sebagai tempat peraduan yang nikmat, pupus sudah setelah melihat pemandangan ini. Saya melihat wajah Nuha ketakutan dan berdiri mematung di depan jendela kamar.  Kemarahan yang sudah memuncak, berhasil aku redakan dengan berbaring ke tempat tidur sambil terus beristighfar. Saya berusaha berpikiran positif. Minyak goreng itu memang ditakdirkan Alloh untuk tumpah. ".....Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah  atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" Qs. Al-An'am : 59. Mulailah hati saya menjadi tenang. Lalu pikiran saya beralih kepada baju pergi milik Zahwa adiknya. Mungkin, Nuha sudah berusaha bertanggung jawab membersihkan lantai dengan kain lap, namun karena kainnya sudah penuh dengan minyak, dia mencari bahan lainnya lalu dipilihnya baju adiknya untuk mengelap. Masya Allah... semakin tenang diri ini. Saya bangkit dari tempat tidur dan memandang penuh iba kepada Nuha yang sudah tertidur lelap. Dengan perasaan ringan saya bersihkan dapur sampai bersih dan tidak licin lagi. Bangun tidur, pelan-pelan saya dekati Nuha. "Apa yang terjadi dengan minyak goreng bunda?" saya memeluk Nuha, agar ia tidak takut menjawab. "Tadi Nuha pegang-pegang pakai telunjuk, terus minyak jatuh deh..." Jawab Nuha pelan. "Ooooh begitu... tapi Nuha tahukan akibatnya, lantai jadi licin, dan hampir saja bunda jatuh. Coba, kalau saat itu bunda terjatuh kemudian bunda sakit bagaimana?" Nuha terdiam. Saya yakin ia dapat mencernanya dengan baik. Mudah-mudahan jadi pelajaran baginya. Alhamdulillah saya bisa menguasai emosi saya. Bayangkan jika saya marah kepadanya saat itu. Saya marah karena hanya sebuah minyak yang harganya sekitar 20 ribuan saja, namun telah menyakiti hatinya.

Orang tua juga manusia, terkadang perilaku anak yang hanya sedikit berbuat ulah membuat orang tua menjadi naik pitam. Memarahi atau memukul anak adalah pelampiasan yang bisa memuaskan hati kita. Tapi bagaimana dengan kondisi psikologis anak?  Ide-ide liar yang merasuki pikiran anak akan padam dengan kemarahan kita. Otak mereka yang  melahirkan daya imajinasi dan kreatifitas tidak dapat dioptimalkan jika kita tidak berusaha memahami dan menyelami dunia mereka. Lihatnya bagaimana ide-ide dan kreatifitas mereka, masih layakkah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal?

Tulisan ini ditujukan kepada diri saya dan kepada wanita-wanita yang selalu berusaha memperbaiki diri menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya.