Minggu, 28 Oktober 2012

Anak Nakal atau Banyak Akal?

Anak diciptakan dengan segudang potensi dan keunikan masing-masing. Namun, sadarkah kita, sebagai orang tua atau guru,  ternyata kita punya andil dalam mematikan atau membonsai potensi anak yang merupakan anugerah terbesar bagi dirinya. Kita terlalu cepat memberikan label kepada mereka dengan sebutan anak nakal. 

Layakkah tingkah dan polah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal?

Ataukah mereka sebenarnya......
Anak yang kreatif dan memiliki kecerdasan yang luar biasa namun kreatifitasnya tak sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita.
Anak yang memiliki energi "ekstra" namun kita tidak dapat menyalurkannya dengan baik. 
Anak yang memiliki ide-ide yang " tidak biasa" namun kita menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diatur.

Anak yang tidak bisa diam, suka berbuat ulah dan sering mengabaikan nasihat, cukup menguras tenaga, pikiran dan waktu kita. Kita jadi sering merasa jengkel dan senewen. Hal ini dialami oleh saya. Namun seiring waktu berjalan, saya baru menyadari, kekesalan saya terhadap tingkah laku anak, dikarenakan kurang bisanya saya menyelami dunia mereka dan terlalu berharap tingkah laku mereka sejalan dengan keinginan saya.

Mari disimak beberapa cerita yang menggambarkan kepolosan, ketangguhan, kreativitas dan ide-ide  cemerlang dari seorang anak berusia 4 tahun.

Siang itu, Nuha ingin bermain ke luar, sedangkan kondisinya sedang sepi, matahari bersinar dengan terik dan saya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Saya berusaha memberikan pengertian padanya, tapi Nuha tetap memaksa. Akhirnya pintu saya kunci dan tak lupa menyelot kunci pintu yang kami taruh paling atas pintu. Lalu, kuncinya saya gantung di atas tembok yang tak dapat terjangkau oleh anak usia 4 tahun. Pokoknya saya anggap semua itu aman dari jangkauan Nuha. Apa yang terjadi? Nuha memanjat meja lalu mengambil kunci yang digantung di tembok. Menyadari kunci sudah ada di tangannya saya hanya memperhatikan saja. Dalam hati, mana bisa anak sekecil itu bisa membuka pintu. Lalu....Nuha memasukkan kunci ke lubangnya dan mencoba beberapa kali memutar-mutar kunci. "Klik...." bunyi kunci terbuka. Subhanallah, bisa juga dia, batinku dalam hati. Oke deh, kuncinya bisa terbuka, mana bisa nuha membuka slot kunci yang kami taruh di atas. Untuk kedua kalinya aku mengecilkan kemampuannya. Lalu, Nuha ambil kursi dan menyeret sapu. Ia berdiri di atas kursi sambil berusaha membuka slot pintu dengan menggunakan gagang sapu. Lama juga ia berusaha, tapi sepertinya nuha tidak cepat berputus asa. "Klik..." suara slot pintu terdengar. Dengan wajahnya yang bangga ia melihat ke arahku. Mimiknya menggambarkan kepuasan diri telah berhasil menunjukan aksinya di depan mataku sendiri. Sementara waktu, saya biarkan ia merayakan keberhasilan dirinya dengan bermain di luar. Saya menghentikan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Dengan hati yang kesal dan perasaan kagum, akhirnya saya menemaninya bermain.

"Bun, Nuha mau merapikan tempat tidur... tolong ambilkan sapu lidinya dong...." Sambil mengangkat telunjuknya ke atas lemari baju. "Biar bunda saja yang merapikan tempat tidur, bunda khawatir, debunya bikin kamu batuk." Saya tidak mengindahkan omongannya dan terus menyetrika baju. Hanya sekali saja Nuha meminta. Lalu ia lari ke belakang. Di tangannya sudah ada sapu ijuk kemudian ia menarik kursi kecil. Mulailah Nuha naik kursi dan menggoyang-goyangkan sapu ijuk ke arah sapu lidi yang aku letakkan di atas lemari. Sapu lidinya akhirnya bisa dijatuhkan. Tanpa banyak bicara, ia mulai merapikan sprei dan tempat tidur. "Bunda, tempat tidurnya rapikan?" Nuha menarik tanganku supaya masuk ke kamar. Hasilnya? Subhanallah, aku tidak percaya ini dilakukan oleh anak usia 4 tahun. Spreinya diatur dengan sangat rapi.

 Di sebuah restoran. Kami memilih meja makan yang panjang dan dengan beberapa kursi di dalamnya. Selesai makan, kami bergantian sholat zuhur. Saya kebagian shift yang kedua. Saya biarkan Nuha menggeser-geser kursi dan merapatkan kursi satu sama lain sehingga kursi berbentuk letter U. Setelah semua kursi sudah rapat, Nuha mulai naik ke kursi dan berjalan di atasnya. Sambil mengitari kursi yang sudah ia buat merapat, Nuha berjalan sambil menghitung kursi yang ia injak. Saya tidak peduli dengan pandangan orang di sekitar saya. Mungkin, sikap Nuha saat itu terlihat kurang sopan. Namun, saya memandangnya, ia cukup kreatif menciptakan suasana yang menyenangkan buat suasana hatinya.

Jika anda datang ke rumah saya, jangan kaget bila keadaan rumah kacau balau. Boneka bertebaran di mana-mana, meja lipat (meja gambar) dalam keadaan satu kaki terbuka dan satunya lagi tertutup (jadi kelihatan miring), kursi dalam keadaan terbalik. Saat itulah, Nuha dan adiknya sedang asyik bermain, seolah-olah mereka sedang berada di taman bermain. Boneka-boneka mereka anggap teman-teman mereka, meja lipat seolah-olah perosotan dan kursi terbalik adalah tangganya. Begitulah keadaan rumah kami, hanya sebentar saja rapinya. Jika anda termasuk orang yang senang kerapian, mungkin merasa aneh dengan pemandangan ini. Tapi begitulah, saya biarkan mereka berekspolarasi dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berimajinasi.

Masuk ke dapur saya merasakan lantai sangat licin, hampir saja saya jatuh terpeleset. Saya melihat lantai sudah tergenang dengan minyak goreng. Saya baru ingat, pagi tadi minyak goreng isi ulang, baru saja saya buka dan hanya sedikit saja digunakan untuk menggoreng. Ya Ampun, minyak goreng yang isinya 2 liter hanya tersisa sedikit.  Saya langsung teriak, "Nuhaaaaaa...... Astagfirullah aladziim, Allohu Akbar, Masya Alloh..." mulut saya tidak berhenti-hentinya mengucapkan istighfar.  Di atas mesin cuci saya mendapati baju pergi milik adiknya penuh dengan noda minyak bertumpukkan dengan kain lap yang kondisinya tidak berbeda. Rasa lelah dan  membayangkan empuknya tempat tidur sebagai tempat peraduan yang nikmat, pupus sudah setelah melihat pemandangan ini. Saya melihat wajah Nuha ketakutan dan berdiri mematung di depan jendela kamar.  Kemarahan yang sudah memuncak, berhasil aku redakan dengan berbaring ke tempat tidur sambil terus beristighfar. Saya berusaha berpikiran positif. Minyak goreng itu memang ditakdirkan Alloh untuk tumpah. ".....Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah  atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" Qs. Al-An'am : 59. Mulailah hati saya menjadi tenang. Lalu pikiran saya beralih kepada baju pergi milik Zahwa adiknya. Mungkin, Nuha sudah berusaha bertanggung jawab membersihkan lantai dengan kain lap, namun karena kainnya sudah penuh dengan minyak, dia mencari bahan lainnya lalu dipilihnya baju adiknya untuk mengelap. Masya Allah... semakin tenang diri ini. Saya bangkit dari tempat tidur dan memandang penuh iba kepada Nuha yang sudah tertidur lelap. Dengan perasaan ringan saya bersihkan dapur sampai bersih dan tidak licin lagi. Bangun tidur, pelan-pelan saya dekati Nuha. "Apa yang terjadi dengan minyak goreng bunda?" saya memeluk Nuha, agar ia tidak takut menjawab. "Tadi Nuha pegang-pegang pakai telunjuk, terus minyak jatuh deh..." Jawab Nuha pelan. "Ooooh begitu... tapi Nuha tahukan akibatnya, lantai jadi licin, dan hampir saja bunda jatuh. Coba, kalau saat itu bunda terjatuh kemudian bunda sakit bagaimana?" Nuha terdiam. Saya yakin ia dapat mencernanya dengan baik. Mudah-mudahan jadi pelajaran baginya. Alhamdulillah saya bisa menguasai emosi saya. Bayangkan jika saya marah kepadanya saat itu. Saya marah karena hanya sebuah minyak yang harganya sekitar 20 ribuan saja, namun telah menyakiti hatinya.

Orang tua juga manusia, terkadang perilaku anak yang hanya sedikit berbuat ulah membuat orang tua menjadi naik pitam. Memarahi atau memukul anak adalah pelampiasan yang bisa memuaskan hati kita. Tapi bagaimana dengan kondisi psikologis anak?  Ide-ide liar yang merasuki pikiran anak akan padam dengan kemarahan kita. Otak mereka yang  melahirkan daya imajinasi dan kreatifitas tidak dapat dioptimalkan jika kita tidak berusaha memahami dan menyelami dunia mereka. Lihatnya bagaimana ide-ide dan kreatifitas mereka, masih layakkah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal?

Tulisan ini ditujukan kepada diri saya dan kepada wanita-wanita yang selalu berusaha memperbaiki diri menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya.












0 komentar:

Posting Komentar