Selasa, 30 Oktober 2012

Nuha Harus ke ICU?



Untuk menceritakan pengalamanku ini, aku akan memberi inisial  rumah sakit  yang berada di bilangan Ciputat ini  dengan nama RS A,  dan dokter anak yang menangani Nuha dengan sebutan dr H . Ia adalah dr anak full timer di tempatnya bekerja.

Sudah 3 bulan batuk Nuha tak kunjung sembuh,  kian hari tubuh kecilnya semakin lemah, kurus tak berdaya .  Tiap ku ukur dengan termometer, suhu tubuhnya menunjukkan  kisaran angka 39-40 derajat celcius. Matanya tak berbinar seperti biasanya.... redup seperti menahan sakit. Nafasnya kian cepat... tersengal-sengal bak habis lari marathon beribu-ribu kilometer. Ku hitung  kecepatan nafasnya dengan stop watch, Masya Alloh... 60 kali permenit ! yang normalnya sekitar 40 kali permenit. Begitulah gejala pnemonia (radang paru-paru) yang sangat mirip dengan apa yang dialami oleh anak yang kami kasihi ini.

Dengan Kondisinya yang semakin buruk kami membawa  Nuha ke RS A. Mengapa kami memilih rumah sakit yang belum lama diresmikan ini? Karena meskipun baru,  RS A adalah cabang dari rumah sakit yang terletak di wilayah Tangerang. Selain itu rumah sakit ini merupakan rekanan perusahaan asuransi yang kami ikuti.

Sehari sebelumnya kami sudah ke RS A,  namun karena dokternya tak kunjung datang, akhirnya kami pulang dan memilih  RS. Buah Hati.Sebenarnya kami sudah cocok dengan dokter Fajar dari RS Buah Hati, yang begitu telaten dan teliti memeriksa anakku. Dia juga enak diajak diskusi. Saat dokter Fajar menyuruh agar Nuha langsung di rawat inap,  kami sebenarnya setuju, tapi sayangnya RS ini bukan  rekanan asuransi kesehatan yang kami ikuti. Akhirnya, dr Fajar memberikan rekomendasi dan membuat surat kepada temannya yang sesama dokter di RS A.

Keesokan harinya...

Kami datang ke RS A  dengan H2C (harap-harap cemas).  Kesan pertama aku melihat dr Hi,  dokter ini kelihatan sedikit angkuh. Aaahhh... mudah-mudahan penilaianku salah.

Mulailah kami menceritakan kondisi anak kami dengan menyertakan surat dari dr Fajar. Pintaku dalam hati.... mudah-mudahan dokter ini memang tepat untuk anakku.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan kepada Nuha. Dokter bilang, "Anaknya boleh dibawa pulang, ini saya kasih obat dan bisa diinhalasi di rumah ya...." Dengan muka bingung, kami saling berpandangan.

Aku membatin dalam hati. Apa gak lihat nih dokter.... anaknya  udah lemes banget. Tanpa dikomandoi, aku dan suami menjawab secara bersamaan. "Nngga dok... mending di rawat aja, lagian dr Fajar sudah membuat surat yang isinya anak kami harus di rawat inap"

Setelah kami ngomong seperti itu, dr H kelihatan sibuk nulis. Beberapa kali dia kasih kode dengan tangannya.... yang berarti, aku gak boleh banyak nanya."Bu.... bagaimana saya bisa konsentrasi nulis,  kalau ibu nanya terus?"

"Haaaaahhhh...." Baru pertama kali nih aku diginiin sama dokter . Lama kami menunggu dalam keheningan. Menunggu dokter itu selesai nulis (Sampai bingung... dokter sebenarnya nulis apa sih).

"Bu... anaknya harus masuk ICU yah, soalnya kelihatannya udah lemes banget... nafasnya aja  sampai 60 kali permenit" Kata dr A menyakini kami.

"Haaaaa...???."  Lagi-lagi  dokter ini bikin kami terkejut-kejut. Bukannya tadi dia bilang anak kami bisa dibawa pulang, dan bisa diuap di rumah???.... Laluuu???? kenapa keputusannya begitu cepat berganti. Huuffhh... kaya gak pake mikir... batinku dalam hati.

Tiga huruf yang bisa kami eja sendiri  I C U ? Parah bangetkah?

"Yaaa... bagaimana baiknya dokter aja lah." Suamiku ternyata lebih dulu yang menjawab. Padahal  aku gak setuju.  "Aduuhh.... kayanya Nuha gak perlu  ke ICU segala deh... dia hanya butuh OKSIGEN saja. lagi-lagi aku membatin dalam kebingungan."

Setelah itu, kami masuk ke ruang IGD, buat pasang infus. Aku dan bapakku menunggu Nuha sedangkan suamiku mengurus administrasi ke bagian rawat inap.

Butuh banyak orang untuk menahan Nuha. Beberapa kali jarum infus patah karena begitu hebatnya dia memberontak. Alhamdulillah, akhirnya bisa terpasang juga. Aku tidak tega melihat Nuha nangis bercucuran air mata. Aku merasakan kesedihannya. Mungkin dia masih trauma dengan jarum suntik.

Ya...baru 6 bulan yang lalu ia  dirawat di RS Premier Bintaro dengan penyakitnya yang sama.

Melihat para suster yang kasak-kusuk, aku jadi curiga. "Gak salah nih dr H?.... coba tanya lagi ke dr H deh...." kata suster yang kelihatannya lebih senior.  Aku menangkap ada ketidak beresan, spontan aja aku bicara pada suster yang ada di dekatku. "Ada apa niihhh.." "Ngga.. ngga ada apa-apa bu." suster itu menjawab sekenanya.

Lalu tak berapa lama kemudian suster bilang." Bu anak ibu mau diambil darah untuk dianalisa kadar okigen dalam darahnya (AGD). Perlu ibu tahu, suntikan ini sangat menyakitkan, bahkan untuk ukuran orang dewasa pun akan merasa kesakitan."

Tanpa banyak berpikir, aku menolak tindakan tersebut.  "Maaf ya sus, kayanya ga usah deh... khawatir anak ini malah ngambek ngga mau dirawat di rs  gara-gara disuntik. Tahu gak sus... merayu anak ini, supaya  mau dirawat inap,  butuh penjelasan dan rayuan yang lamaaaaa sekali."  Aku jelaskan alasanku  menolak tindakan dari RS ini. "Ya  sudah .....kalau ibu tidak bersedia, ibu harus menandatangani lembaran ini ya."

"Huuffhhh..." Aku menarik nafas dan mengeluarkannya dengan  perlahan. Aku mengelus dadaku atas beberapa hal yang tak bisa aku terima di hatiku dalam menangani anakku ini.

Bersamaan Nuha masuk ke ICU aku pun memeriksakan diri ke ruang poliklinik. Kondisi kesehatanku pun sebenarnya sedang kurang baik.  Sambil menunggu antrian, aku sms suamiku. "Sebenarnya aku ga setuju kalau Nuha harus ke ICU..... jangan terlalu menurut apa kata dokterlaaah...." Begitulah bunyi smsku, yang langsung dibalas. "Kita mau pindah ke ruangan rawat inap, Nuha gak mau di sini, Bunda cepat ke sini ya..."Lega rasanya membaca sms dari suamiku.Tak pernah terbanyang dibenakku ruang ICU seperti apa.

Menyeramkan. Itulah kesanku saat memasuki ruangan ini. Pantas saja... Nuha tidak mau dipasang alat-alat yang penuh  kabel ke tubuhnya. Aku saja.... merasa aneh dengan benda-benda ini.

Senyuman tipis menghiasi wajah lelahku. Bagus Nak, kamu gak jadi bermalam di ruang ini.

Sungguh, campur aduk rasanya kalau Nuha sudah kambuh. Mendadak ia menjadi "Nona Tidak Mau.." Disodorkan makananan dan disuruh  minum obat, selalu ditolak. Setiap aku  tanya pasti dijawab gak mau. Di ukur suhunya langsung geleng. Pernah merayu dia untuk minum obat sampai  berjam-jam.  Kalau sudah begitu....... periiiiih rasanya lambungku.

Ketika sudah berada di kamar perawatan, aku meluapkan perasaanku yang sejak tadi aku pendam. "Yah, tadi ayah dengar sendiri kan, kalau Nuha disuruh pulang sama dokter H?  pas kita suruh dirawat aja, kenapa dr H  malah nyuruh  Nuha ke ICU ? " Suamiku mengamini perkataanku.

Tidak berapa lama kami mengobrol.  Ibu  di sebelah, ke tempatku. "Bu, disuruh  sama dr H ke ICU ya ?  Anak saya juga disuruh ke ICU.  Kemarin pasien sebelah saya juga disuruh dr H masuk ICU. Kenapa ya... dr H gampang banget  nyuruh pasiennya ke ICU. Saya lagi binguuung banget bu, kalau anak saya harus  ke ICU."  Wajah ibu itu memang terlihat kebingungan. Sebagai orang awam, tentunya akan bingung dalam  memutuskan sikap,  jika dihadapkan dengan kondisi seperti itu.

Anak ibu sakit apa?" tanyaku. "Anak saya baru 1 tahun 3 bulan, sakit infeksi pernafasan. "Bla...bla.....: Begitulah kami sebagai konsumen rs ini saling curhat.  Singkat cerita, saya memberi masukkan padanya bahwa sebagai  pasien, perlu kritis, apalagi untuk rs yang masih baru.... tentulah mereka ada hitung-hitungan untuk segera balik modal.

Keesokan harinya, anak ibu itu dipindahkan ke ruang ICU.  Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti anjuran dokter. "Mudah-mudahan anaknya cepat sembuh ya bu." Kataku mengiringinya  ke luar kamar.

Suatu waktu, ketika Nuha akan dipasang oksigen.  Dia menolak mentah-mentah. Aku dan suster sudah mencoba berbagai cara untuk menyakini Nuha, kalau dipasang selang oksigen tidak akan menyakitinya. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk merayunya.

Emosiku sudah gak karuan. Antara sedih, capek dan  kesal jadi satu.   Rasa khawatirku makin membuncah dan bertambah-tambah, tatkala melihat wajahnya yang kian pucat pasi dan nafasnya semakin sesak. Kenapa sih nak... kamu gak nurut sama suster dan bunda... semua tindakan yang mau dilakukan oleh suster selalu kau bilang tidak. Bunda sedang sakit juga nak, cape rasanya merayumu untuk bilang: mau.

"Bu, nanti saja deh dipasangnya, kalau Nuha sedang tidur".  Suster memecahkan lamunanku yang sejak tadi terus menatap wajah anakku. "Oh.. iyaa, suster, nanti aku coba deh. Makasih yaaa.." suster tersenyum kepadaku dan meninggalkan ruang kamar.

Belum lama suster itu ke luar dari kamarku, ia kembali lagi. 'Ibu dipanggil dr H, dia mau bicara sama ibu.... Nuha biar sama saya." Baru saja aku berniat melangkahkan kaki, Nuha nangis dan memohon untuk tidak ditinggalkan olehku. Melihat kondisi tersebut, aku meminta suster supaya dokter yang ke sini saja.

"Bu.... ibu bersedia kan kalau anaknya diikat, supaya dia mau dikasih oksigen?" Tiba-tiba dr H muncul. "Aduuuhh ibu... saya yang panik lihat kondisi anak ibu  looh.. " Dokter H mulai lagi dengan sederet kata-kata yang membuat sedih hatiku. "Silakan saja dok.. saya juga sudah nyerah.." Jawabku pasrah.

Dokter itu mendekat padaku. "Ibu berani sekali... memutuskan untuk tidak di ICU... waktu itu ibu juga menolak di AGD," kata dokter H. "Loh... dok, kami juga sudah mencoba ke sana, tapi anaknya yang tidak mau." Jawabku.

"Ibu yang memutuskan.... bukannya nurut sama anak..." Dokter itu berkicau lagi.  Aku mencoba untuk tenang dan  bersabar menghadapi dokter H. Aku bisa saja membalikkan kata-katanya. Tapi aku urungkan karena khawatir akan mengganggu Nuha dan pasien lain.

"Ibu tahu ngga... penyakit anak ibu seperti flu burung.. di Asia, merupakan penyakit terbesar yang mematikan." Sudah.. nanti ibu diskusikan lagi sama bapak... besok anak ibu ke ICU saja ya..."  Dokter berkata seperti itu, seolah-olah aku seperti orang yang buta dan tidak tahu menahu tentang pnemonia dan cara menanganinya.

Dia membisikan sesuatu. "Baru seminggu yang lalu, ada korban yang meninggal gara-gara penyakit ini, karena orang tuanya tidak mau mengikuti saran saya untuk ke ICU." Lalu... dokter itu langsung pergi sambil meninggalkan kata-kata ini. "Ibu kan pakai asuransi, jangan khawatir bu... pasti dicover...." suaranya hilang bersamaan kepergiannya dari kamarku.

"Deeggg....!!" Hatiku sedih sekali mendengar perkataan dokter yang sangat tidak simpatik ini. Membayangkan Nuha diikat, rasanya tidak tega.

Untung ada suster yang sangat sabar membujuk Nuha untuk mau dipasang oksigen.  Menit-menit di jam dinding telah berlalu.... entah sudah berapa lama suster ini merayu Nuha, tentunya juga dibantu dengan aku.  Suster pun memberikan hadiah pulpen angry bird dan stiker buat Nuha. Akhirnya.... Nuha mau juga dipasang oksigen. Syukur tiada henti aku ucapkan pada Alloh. Berkali-kali aku ucapkan rasa terima kasihku pada suster.

Sore ini, setelah kejadian tadi siang. Aku dan suami menyampaikan keluhan dan keberatan kami atas tindakan dokter H. Aku ajukan komplain kepada kepala ruangan RS A, aku ceritakan kepadanya bagaimana perlakuan dan perkataan dokter H mulai dari penanganan pertama di poliklinik sampai kejadian siang tadi.  Aku juga sharing tentang penanganan dokter anak dari  rs-rs  yang lain untuk kasus anakku. Menurutku, tindakan dr H tidak menenangkan keluarga pasien, justru malah menakut-nakuti. Padahal aku sudah berusaha menenangkan diri dan tidak  tidak grasa-grusu.

Di rumah, meskipun aku lelah. Aku berusaha bangun untuk sholat lail. Mengadu kepada Sang Khalik. Aku berharap ada kemajuankondisi kesehatan i Nuha. Mukenaku basah..... dengan air mata penuh pengharpan kepada Yang Maha Lembut dan Maha Penyayang.

Keesokan harinya, aku membawa buku mewarnai dan krayon. Alhamdulilah sesampaiku di kamarnya Nuha, aku lihat kondisi Nuha sudah membaik.  Bahkan menurutku perubahan kondisinya sangat jauh sekali dari yang kemarin. Nuha dan aku  asyik bercanda dan  ia sedang mewarnai  bukunya,  saat suster memberitahu aku, kalau  dr H ingin bicara denganku di ruang konsultasi. Lagi-lagi Nuha tidak mau ditinggal. Akhirnya Nuha aku gendong sambil membawa perlengkapan mewarnainya.

Ia minta maaf atas semua perlakuannya padaku, dan menyakini aku bahwa sikap yang diambil bukan untuk mencari keuntungan.  Aku tetap bersikukuh untuk minta ganti dokter,  saat  ia bertanya, apakah aku benar-benar mau ganti dokter.  Aku memaafkannya, namun tidak akan membiarkan anakku tetap ditangani olehnya.

Bagiku perubahan kondisi yang ditunjukkan Nuha adalah sebuah keajaiban. Bahkan kini ia sedang asyik mewarnai di meja konsultasi. Padahal kemarinl, dokter tersebut terus memaksa kami untuk segera memasukkan Nuha ke ICU.

Kalaulah dokter itu bisa mengambil pelajaran... bahwa dokter hanyalah manusia...
Ada kekuatan lain yang bisa menyembuhkan seseorang...
Yahh... kekuatan doa dari seorang ibu.

Untunglah kami tidak jadi membawa Nuha ke ICU. Ternyata setelah googling. Aku mendapatkaninformasi bahwa  anak menjadi berhalusinasi ketika ia sedang di ruang ICU. Tentu juga pasti ada efek dari obat penenang bagi diri anak.

0 komentar:

Posting Komentar