Minggu, 25 November 2012

Guru-Guru Inspiratif

Rhenald Kasali mengatakan, dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, yaitu guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer seluruh isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standard (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen populasi guru di seluruh Indonesia. Guru inspiratif jumlahnya sangat terbatas, populasinya kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, melainkan yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Kalau guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin pembaru yang berani menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama.

Inilah guru-guru inspiratif :

Ibu Muslimah
Bu   Muslimah, yang   namanya   menjadi  buah  bibir  gara-gara  novel  Laskar Pelangi, buku  terlaris  dalam  sejarah  Indonesia karya  Andrea  Hirata. Ia  adalah  guru  yang  inspiratif  dan berdedikasi tinggi dalam memajukan dunia   pendidikan, membuka   wawasan,   cakrawala  berpikir,  mengobarkan semangat juang dan menyalakan api mimpi-mimpi para siswanya.

Bu Mus sangat peduli, tak  pernah  letih  memotivasi dan piawai membangun rasa percaya diri para  muridnya. Bagi kelompok Laskar Pelangi, Bu Mus adalah anugerah Tuhan yang paling indah dan paling tak terlupakan di muka bumi.

Sebagai   guru   swasta,  Bu  Muslimah  harus  bersabar  menghadapi  kesenjangan fasilitas.  Ia  tak  pernah  mengeluh  hanya  karena  fasilitas terbatas. Ia pun begitu  piawai  mengobarkan  semangat  belajar  para muridnya untuk meraih mimpi tanpa  harus  cengeng dan tak bernyali dengan kondisi sekolah mereka yang sangat memprihatinkan ketika itu.

Ketika  anak-anak  Laskar Pelangi mengeluhkan kondisi kelas yang kerap bocor dan menyusahkan  di  musim  hujan,  Bu  Mus  tidak  menanggapi  keluhan  itu  dengan kata-kata, tapi  dengan  mengeluarkan buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan sebuah  gambar  berupa  ruangan sempit, dikelilingi tembok tebal, suram, tinggi, dan  berjeruji.  Kesan  di  dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan, dan kesedihan. “Inilah  sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung,” kata Bu Muslimah. “Di sini beliau  menjalani  hukuman  dan  setiap  hari belajar. Setiap saat membaca buku. Beliau  adalah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.” Mulai saat itu,  murid-murid  Laskar Pelangi tak pernah lagi protes tentang kondisi sekolah mereka. Dan luar biasanya seharipun siswa Laskar Pelangi tak pernah bolos.

Bu  Muslimah  menekuni  dunia  pendidikan  bukan  karena  memburu materi, tetapi karena  naluri  peduli  pada  tanggung  jawab  mencerdaskan  anak-anak  bangsa. Pilihannya  untuk  menjadi  guru (pendidik) sudah diawali dengan kesadaran bahwa dunia  itu  bukan  lahan  mengeruk  harta. Dunia itu adalah ajang untuk mendidik anak-anak  bangsa  negeri ini untuk punya mimpi, berani berpikir out of the box, berpikir  yang  orang  lain  tak  memikirkannya  untuk melakukan hal besar dalam rangka mengangkat harkat dan martabat anak muridnya. Hal   penting   lain   yang  perlu  diteladani  dari  Bu  Muslimah  adalah  soal kegigihannya.  Ia pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya. Guyuran derasnya hujan  tak  menyurutkan  langkahnya  untuk  datang ke sekolah. Ia yakin siswanya sedang  menantinya  dengan  penuh  harap  di sekolah. Ia menggunakan daun pisang sebagai pengganti payung untuk melindungi diri dari basah kuyup karena hujan.

Mr. Sosaku Kobayashi

"Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela" adalah sebuah buku yang berkisah tentang gadis kecil yang berumur 7 tahun . Sebagai seorang gadis kecil yang mempunyai  segudang rasa ingin tahu, Totto-chan sering bertingkah laku aneh di sekolah. Mulai dari membuka tutup laci mejanya, hingga memanggil penyanyi jalanan, dan bahkan berdiri berjam-jam di depan jendela selama pelajaran berlangsung untuk berbicara pada burung wallet.

Gurunya tidak tahan lagi dengan tingkah laku Totto-chan dan akhirnya mengeluarkan dirinya dari sekolah. Saat itu Totto-chan masih berada di kelas 1 sehingga ibunya yang bijak memutuskan untuk tidak memberi tahu Totto-chan kalau ia telah dikeluarkan dari sekolah. Sebaliknya, ibu Totto-chan menemukan sebuah sekolah yang sangat cocok dengan anaknya. Nama sekolah itu adalah Tomoe Gakuen.

Ruang kelas Tomoe berupa gerbong kereta api, sehingga para murid serasa bukan sekolah tapi menikmati perjalanan wisata. Kurikulumnya pun unik. Setiap siswa bebas memilih pelajaran yang ingin dipelajarinya lebih dulu pada hari itu. Ada yang memilih membuat puisi, menggambar atau melakukan eksperimen fisika. Kobayashi mengajarkan untuk tidak melihat perbedaan. Murid yang bodoh, miskin atau bahkan cacat adalah bagian dari komunitas, sebuah keluarga Tomoe Gakuen. Semua murid merasa senang sekolah di Tomoe.

Kobayashi memupuk para murid untuk mempunyai rasa percaya diri. Ia merancang perlombaan sedemikian sehingga saat perayaan Hari Olahraga murid yang cacat bisa menang. Ia juga mampu meyakinkan anak-anak bahwa mereka anak yang baik dengan selalu mengucapkan ”Kau anak yang benar-benar baik, kau tahu kan?”. Untuk bento (bekal makan siang) harus ada ”sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan” agar anak-anak makan dengan gizi seimbang. Kehidupan di Tomoe juga mengajarkan untuk selalu bersikap sopan kepada orang lain.

Ketika mereka belajar bagaimana bunga sawi mekar, mereka mengatakan, ”Ternyata benang sari tidak mirip benang ya?”. Meski disajikan dari sudut pandang Totto-chan sebenarnya buku ini menyiratkan metode pendidikan yang diterapkan Sosaku Kobayashi. Mengajarkan bahwa sekolah bukan sekedar tempat belajar menulis, membaca, berhitung atau bernyanyi. Namun sebagai wadah melejitkan prestasi sesuai dengan potensi dan keahlian masing-masing.

Namun sayangnya sekolah itu tidak dapat bertahan lama, sebuah bom meratakan sekolah itu dengan tanah. Saat itu Perang Pasifik telah pecah, dan pada saat itu sang kepala sekolah, Sosaku Kobayashi, berdiri tegar menatap terbakarnya sekolah yang dibuat dari uang pribadinya sendiri. Ia bahkan bertanya kepada anaknya tentang sekolah seperti apa yang akan ia buat lagi selanjutnya. Meskipun demikian, Tomoe Gakuen akan selalu menjadi kenangan manis dalam hidup  siswa-siswanya,   termasuk Totto-chan. 

Para alumni sekolah Tomoe Gakuen menjadi orang-orang yang hebat. Akira Takahashi menjadi manajer personalia di perusahaan elektronik besar dekat Danau Hamana. Miyo-chan (Miyo Kaneko) seorang putri ketiga Pak Kobayashi menjadi seorang pengajar musik di sekolah dasar.  Sakko Matsuyama (sekarang Mrs. Saito) menajdi instruktur bahasa Inggris di YWCA. Taiji Yamanouchi menjadi salah satu ahli fisika yang ternama. Kunio Oe, seorang ahli anggrek sedangkan Totto chan (Tetsuko Kuroyanagi) menjadi seorang presenter TV paling populer di Jepang yang membawakan Tetsuko’s Room dan ditunjuk UNICEF sebagai duta bagi anak-anak terlantar di seluruh dunia.

Pak Slamet,  Pak Mulyadi, Pak Sukadi, Pak Sudewa dan guru-guru inspiratif lainnya.

"Nak, karanganmu bagus!", kalimat pujian itu diucapkan Guru Slamet ketika salah satu muridnya di kelas 5 selesai membaca karangan sendiri tentang perayaan tujuh belas Agustus. Adakah pengaruh pujian Guru Slamet? Sang murid tersebut mengakui, pujian itu membuatnya percaya diri, membuatnya suka menulis, dan pujian gurunya itu membesarkan hatinya.

Jika di SD bertemu dengan Guru Slamet, ketika beranjak ke sekolah menengah, Guru Mulayadi menjadi sosok penting bagi sang murid tadi. Guru bahasa Indonesia itu beberapa kali membaca puisi atau cerita kecil yang dibuat sang murid dari kelas ke kelas yang diajarnya. Adakah pengaruh kebiasaan Guru Mulyadi? Sang murid mengakui sendiri betapa gurunya memberikan penghargaan, nilai rapor bagus, sekaligus kebanggaan di mata teman-teman seangkatannya. Hal itu membuat sang murid suka menulis terus.

Perjumpaan dengan Guru Sukadi dialami sang murid ketika memasuki perkuliahan. Guru Sukadi mengkritisi pikiran sang murid, menuntun mempertajam tema, mengobrak-abrik cara merumuskan ide  dan menghadirkan antusiasmenya di kelas.  Semasa dengan Guru Sukadi, sang murid bertemu dengan Guru Sudewa yang menyodorkan bacaan dan analisis yang menantang bahaya.

Dua puluh tahun kemudian, murid yang dipuji oleh Guru Slamet itu tumbuh menjadi penulis di koran atau kolomnis. Lima belas tahun kemudian, cerita kecil atau puisi yang dibacakan oleh Guru Mulyadi dari kelas ke kelas telah menjadi tulisan di media yang dibaca oleh khalayak di mana pun. (ST Kartono, Menjadi Guru untuk Muridku)`






0 komentar:

Posting Komentar