Sabtu, 17 November 2012

Buku Diary untuk Mama

Waktu telah menunjukkan jam 22.00, Dito masih menunggu kepulangan mamanya. Rasa kantuknya semakin hebat sehingga dia pun tertidur di sofa. Hadiah dengan kertas kado bermotif bunga-bunga dan pita berwarna merah akhirnya terjatuh dari tangannya. Di hari ulang tahun mamanya ini, Dito telah menyiapkan sebuah kado istimewa.



"Din.....din...." Mendengar suara klakson mobil, dengan tergopoh-gopoh bi Inah membukakan pintu gerbang. "Dito sudah tidur bi?" sambil menenteng tas merk terkenal, Mirna masuk.
"Sudah... nyah.. sejak tadi, Dito nungguin nyonya, katanya mau ngasih kado ulang tahun buat nyonya", kata bi Inah.

Setelah melepaskan sepatunya, Mirna mendapati anak semata wayangnya tengah tertidur lelap di sofa. Tak tega rasanya ia membangunkan anak kesayangannya ini.

"Bi... suruh si Ujang angkat Dito ke kamar ya". Sambil berbicara dengan Bi Inah,  Mirna memungut kado yang tergeletak di lantai.

Di kado tertulis "Untuk mama tersayang... dari Dito". Mirna mengecup kening Dito. "Makasih sayang..."

Sebagai Direktur di perusahaan asing, Mirna memang sangat sibuk dan sering pulang malam. Sudah setahun ini, ia resmi menyandang gelar janda. Dia begitu ngotot minta diceraikan oleh suaminya. Dito sehari-hari diurus oleh bi Inah yang telah bekerja selama 9 tahun di keluarga Mirna.

"Breekkk...." Mirna merobek kertas kado.
"Diary?..." Mirna tersenyum mendapati sebuah buku harian berwarna merah hati.

Alisnya dikernyitkan begitu ia membuka lembaran-lembarannya sudah tidak seperti baru lagi. Ia tidak mengerti mengapa lembaran-lembaran buku harian yang ada di tangannya seperti sudah pernah ditulis oleh pensil. Beberapa lembarannya malah masih tersisa kotoran dari penghapus. Di tiap lembarnya, hanya tertera tanggal dan tahun.

Apa maksud Dito memberikan ini padaku? Mirna merebahkan badannya yang sudah sangat lelah. Mirna tidur malam itu dengan menyimpan rasa penasaran di rongga hatinya.

**************

Pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan langsung masuk kamar Dito. Mirna menatap wajah Dito dan mengusap-usap rambutnya. Dito langsung bangun ketika Mirna mencium keningnya.

"Mama...?" Mirna tersenyum.
"Terima kasih kadonya, sayang...."
"Mama sudah buka kadonya...?" Mirna mengangguk. Dito langsung memeluk mamanya.
"Selamat ulang tahun ma.." Dito mencium pipi mamanya.
"Terima kasih sayang..."  Mirna kembali mengecup pipi Dito.
"Yuk, bangun! Hari ini kita kan mau ke tempat eyang". Mirna terlihat bersemangat.

Sinar matahari pagi menyeruak masuk ke dalam ruang makan yang langsung menghadap taman belakang. Rumput-rumput yang tertata rapi masih terlihat basah oleh air hujan yang mengguyur bumi tadi malam.  Angin semilir menerobos masuk lewat celah jendela dan dari pintu belakang yang terbuka lebar. Kicauan burung yang saling bersahutan, menemani dua insan manusia yang sedang menikmati sepiring nasi goreng buatan bi Inah.

Setelah menyelesaikan sarapan pagi, Mirna masuk ke kamarnya. Diambilnya Diary yang tergeletak di pinggir tempat tidurnya. Di sofa,  Dito sedang asyik main game dari Ipad. Hadiah ulang tahunnya yang ke-8 tahun.

"Sayang... ini kado ulang tahunnya kan?...." Dito mengangguk.
"Mama suka?" Pandangan Dito tetap tertuju pada layar Ipad dengan jari-jarinya yang masih menempel di layar sentuh.
"Semua hadiah dari Dito, pasti mama suka." Mirna memencet hidung Dito yang bangir sambil tertawa renyah.

Kali ini Dito menatap mamanya dan mematikan Ipad yang ada di tangannya.
"Maaf ya ma... Diarynya sudah pernah Dito pakai. Tapi....dibandingkan kado yang Dito kasih tahun-tahun sebelumnya, ini adalah kado yang paling istimewa buat mama..." Dito berhenti sejenak, tak meneruskan kata-katanya.

"Buku diary ini hadiah dari Ms. Riana karena kata Miss, karangan bahasa indonesia Dito paling bagus dibandingkan dengan teman-teman Dito. Ms. Riana juga bilang kalau ia punya 2 buku diary dengan warna yang sama. Ms Riana bilang, ia setiap hari menulis di buku diary tentang kejadian hari itu. Ms. Riana bilang, Dito juga bisa menuliskan semua perasaan Dito di buku ini."

Menit-menit telah berlalu dalam keheningan. Dito kini benar-benar tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia tertunduk dan tak berani menatap wajah mamanya.

"Ma, maafkan Dito ya..." Dito terdiam lagi.
"What wrong honey... kenapa kamu harus minta maaf sama mama?"
"Dito mau cerita sama mama... tapi mama janji tidak akan marah sama Dito, janji yaa..." Dito menatap mamanya.

Mirna jadi penasaran dengan apa yang akan dikatakan Dito. Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung mengiyakan.

"Iya... mama janji."
"Sebenarnya....." Dengan terbata-bata, Dito menjelaskan.
"Diary itu yang menemani Dito di saat Dito kesal, sedih atau sedang sendirian." Dito melirik wajah mamanya.
"Termasuk kalau Dito lagi kesal sama mama?" Mirna menyela. Dito mengangguk.

Mirna semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan Dito. Ia menggeser tempat duduknya agar semakin dekat dengan Dito.

"Mama ingat, waktu arisan dengan teman-teman mama?" Mirna mencoba mengingat-ingat, dan ia pun mengangguk.
"Waktu itu ada anak temannya mama ngompol... Dito takut mama atau yang lainnya terpeleset. Waktu itu bi Inah lagi sibuk nyiapin makanan, jadinya Dito ambil kain pel dan ngepel ompolan anak itu. Tapi... tanpa sengaja, tangan Dito menyenggol guci kesayangan mama." Dito berhenti sejenak.

"Waktu itu,  mama lihat Dito seperti menahan marah, mata mama melotot ke Dito. Setelah teman-teman mama pulang. Mama benar-benar marah, dan langsung menampar pipi Dito dengan keras. Saat itu....Dito takut sekali. Dito berusaha menjelaskan apa yang terjadi.... tapi mama tidak memberikan kesempatan."

Mirna sangat ingat peristiwa itu. Betapa marahnya ia, begitu tahu guci mahal yang ia beli dari luar negeri sudah hancur berkeping-keping. Ia sempat menampar Dito beberapa kali. Saat itu, ia tidak bisa menahan emosinya. Tapi... setelah menampar Dito, Mirna merasa menyesal sekali namun ia begitu gengsi untuk minta maaf sama Dito. Dito mulai melanjutkan ceritanya lagi.

"Lalu Dito menulis kekesalan Dito di buku diary ini. Betapa sakit hati Dito diperlakukan oleh mama seperti itu. Dito menganggap, mama lebih sayang dengan guci dibandingkan anaknya sendiri." Dito membalik halaman Diary berikutnya, terlihat matanya berkaca-kaca.

12 Oktober 2009

"Di lembaran ini Dito menulis saat mama bertengkar hebat dengan papa. Waktu itu, Dito mengintip di balik tembok. Dito akhirnya lari ke kamar. Dito lihat mama melemparkan benda-benda apa saja yang ada di dekat mama, termasuk pisau. Dito lihat telapak tangan ayah berdarah saat menangkis pisau yang dilempar mama. Dito sangat benci mama saat itu, karena mama telah melukai tangan papa. " Dito melihat mamanya dengan takut-takut, ia ingin melihat reaksi mamanya.

Mata Mirna menerawang. Kehidupan rumah tangganya tidak pernah sepi dengan pertengkaran. Suaminya beberapa kali memintanya untuk berhenti kerja agar ada yang mengurus Dito. Sebagai wanita pekerja, karirnya sedang berada di puncak-puncaknya. Mirna menganggap Pram laki-laki yang egois dan takut tersaingi olehnya. Karir Pram memang tidak semulus karir Mirna. Dengan gajinya yang berada di bawah Mirna semakin memperlebar jurang kesenjangan di antara mereka.

"Mama marah ya?" Suara Dito memecahkan lamunan Mirna. Mirna menggeleng.
"Tidak sayang.... teruskan, mama janji akan mendengarkan semua cerita Dito sampai selesai." Mirna membelai rambut Dito.

15 Maret 2010

"Dito sangat benci perpisahan ma.... Sejak Mama dan papa berpisah, mama tidak pernah mengijinkan Dito bertemu lagi dengan papa. Padahal Dito kangen sekali dengan papa. Kangen saat papa ngajak Dito main. Kangen sama cerita-cerita papa yang lucu-lucu."

"Waktu papa dan om Suryo datang ke rumah ingin menjenguk Dito, mama malah mengunci Dito di kamar. Dito hanya memandang dari jendela. Mama sama sekali tidak membukakan pintu. Hingga setelah lama papa dan om suryo cape menggedor-gedor pintu pagar, akhirnya mereka pulang dengan wajah kecewa. Aku tulis di buku ini betapa Dito sangat benci mama. Mama adalah mama yang paling kejam."

Mirna mulai meneteskan air matanya. Tapi, segera ia usap dengan jarinya yang lentik. Untung Dito tidak lihat ia menangis. Dito masih terpaku dengan buku dairy yang dipegangnya.


23 Juni 2010

"Mama... di lembaran ini, Dito nulis tentang kesedihan Dito. Dito sangat sedih mama dan papa berpisah, dan sejak saat itu, Dito jadi malas belajar. Beberapa kali mama mukul Dito kalau mama dipanggil ke sekolah. Mama pernah melemparkan kertas-kertas ulangan Dito ke muka Dito. Bukan itu saja, mama memukul paha Dito sampai biru-biru. Mama bilang, kalau mama malu punya anak yang bodoh. Mama juga bilang... mama dan papa tidak pernah dapat nilai jelek waktu di sekolah. Mama mengancam Dito, akan dikeluarkan dari Sekolah Internasional itu, jika nilai-nilai Dito  masih jelek." Dito menahan napasnya. Diliriknya mamanya yang sudah kelihatan ingin menangis. Ia melanjutkan lagi ceritanya.

"Ma.... Begitu mama tahu Dito tidak pernah pergi les atau belajar privat, mama menjambak rambut Dito, hingga beberapa lembar rambut Dito lepas. Mama terus memukul Dito, padahal Dito sudah bilang minta maaf dan berjanji mau ikut les. Mama makin menjadi-jadi mukul Dito, padahal Dito udah bilang minta ampun berkali-kali."

Kali ini, Mirna tidak dapat menahan air matanya. Mirna memeluk Dito dengan erat. "Kenapa sayang... kenapa Dito tidak pernah ngomong tentang perasaan Dito terhadap mama." Ah... pertanyaan yang bodoh, batin Mirna. Mana sempat ia mendengarkan cerita Dito. Ia pergi sebelum Dito bangun tidur dan pulang kembali ke rumah di saat Dito sudah tertidur lelap. Kapan ia punya waktu mendengarkan keluh kesah Dito.

Mirna berkali-kali meminta Dito untuk mengerti keadaannya. Sebagai orang tua tunggal dengan pekerjaan yang begitu banyak. Dan tingkat stress yang tinggi, membuat Mirna jadi cepat pemarah.

Setiap ia melampiaskan kemarahannya pada Dito, hatinya merasa bersalah. Pasti keesokan harinya ia akan membelikan coklat dan makanan kesukaan Dito. Setiap akhir pekan, Mirna juga tidak pernah lupa membelikan mainan-mainan yang mahal untuk Dito. Mirna pikir, dengan semua itu, Dito akan memaafkannya dan melupakan kejadian pemukulan-pemukulan itu. Baju Dito telah basah oleh air mata Mirna.

"Kenapa sayang...kenapa kau hapus semua tulisanmu di buku itu? Kenapa tidak kau ijinkan mama untuk membaca dan jadi pengingat jika mama mulai marah..." Mirna menangis sesenggukan.

"Kata Bi Ijah, agar Dito disayang Allah, Dito harus memaafkan mama dan melupakan semua kebencian Dito pada mama. Kata Bi Ijah, mama sangat sayang sama Dito. Tapi, karena mama cape... jadinya mama suka marah-marah sama Dito. Dito ingin melupakan semua kebencian Dito sama mama, makanya Dito menghapus semua tulisan itu. Karena setiap Dito membaca kembali tulisan di diary, semakin kebencian Dito bertambah kepada mama. Maafkan Dito yang ga pernah ngerti mama." Dito mulai menangis.

"Tidak sayang.... mama yang harusnya minta maaf. Mama berjanji tidak akan memukuli kamu lagi. Mama sangat menyesal sekali. Jangan benci mama sayang.... mama sangat sayang Dito.... Mama hanya punya Dito." Mirna semakin erat memeluk Dito.


**********************

Selama perjalanan menuju rumah eyangnya di Bandung, Dito terlihat sangat gelisah. Beberapa kali ia memandang wajah mamanya. Mirna merangkul dan mengelus-elus kepala Dito, hingga akhirnya Dito pun tertidur di bahu mamanya. Mobil mereka sudah memasuki tol Cipularang. Di km 100, tiba-tiba....

"Jedaaarrrr !!!...." Suara benturan yang sangat keras. Mobil yang ditumpangi Mirna oleng dan terseret hingga 10 meter. Ujang, sopir berusaha mengendalikan mobil dengan membanting stir. Akhirnya mobil mereka menabrak dinding tol. Hampir sebagian besar badan mobil penyok tak berbentuk lagi. Darah segar segera membasahi jalanan. Mobil Mirna tersenggol oleh sebuah mobil sedan yang berwarna putih.

***********************

Mirna terbangun dengan pandangannya yang masih kabur. Begitu siuman Mirna baru ingat, kejadian tabrakan mobil di Tol Cipularang. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya yang masih terlihat wajah ningratnya.

"Dito.... di mana Dito maa...aku di mana...mana Dito..." Begitu mendapati tubuhnya yang tidak bisa bergerak lagi dan dengan wajah penuh dengan perban, Mirna berteriak histeris.
"Mama.... apa yang terjadi padaku..... Kenapa tubuhku sulit digerakkan..." Mirna mencoba berontak.

Wanita separuh baya yang merupakan mama Mirna tak kuasa menahan tangisannya. Sudah 5 lima hari, ia ada di rumah sakit menemani anaknya yang koma. Dan betapa bersyukurnya ia begitu tahu anaknya telah siuman dari koma. Meskipun ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa anaknya mengalami kelumpuhan seumur hidup dengan wajahnya yang cacat.

"Mirna... Dito telah...." Mama Mirna seperti tercekat lehernya ketika ingin memberitahukan keadaan Dito.
"Apa yang terjadi dengan Dito Ma... mana Dito ma...." Mirna mulai berteriak lagi meskipun ia harus merasa ngilu dan perih di bagian wajahnya.
"Dito telah meninggal dunia nak... sabarlah sayang..." Mama Mirna menggenggam tangan anaknya erat-erat.
"Apaaaa....... tidak.... Dito tidak boleh meninggal.... Dito... mama sayang Dito.... mama sayang Dito..." Tangisan Mirna pecah memenuhi isi ruangan. Suster-suster segera berlari begitu mendengar jeritan Mirna yang sedang berada di ruang ICU.

************************

Tanah merah masih basah. Harumnya bunga yang ditabur di pusara sudah mulai kelihatan layu. Layu... seperti perasaan Mirna saat ini. Hatinya hancur berkeping-keping. Bahkan, tuhan pun tak mengizinkan dirinya untuk mengantarkan Dito ke tempat peristirahatannya yang terakhir kali. Buku diary warna merah hati masih dipegang erat oleh Mirna. Masih menyisakan tanggal dan tahun di tiap lembarnya.

0 komentar:

Posting Komentar