Minggu, 11 November 2012

Indahnya Belajar dari Alam

Teringat waktu masih kanak-kanak, ketika saya duduk di bangku SD. Tanpa saya sadari ternyata alam telah memberikan pelajaran yang sangat berharga buat saya. Waktu SD pelajaran IPA adalah pelajaran yang menyenangkan untuk saya dan teman-teman. Saat pelajaran itu, kami dibawa ke sebuah tanah lapang yang berada di belakang sekolah kami. Daerah ini terlihat masih alami karena banyak ditumbuhi oleh pepohonan, rumput-rumput liar dan tanaman. Pemandangan ini dihiasi dengan warna-warni kupu-kupu yang hilir mudik, belalang yang melompat kesana kemari, kadal yang berlari ketika kami menghampiri serta bunglon yang selalu berubah warna.


Ketika kami belajar tentang ekosistem, guru menyuruh kami untuk mengamati dan mencatat ekosistem hewan yang ada di sana. Begitu pula ketika pada materi metamorfosis hewan, kami kembali diajak untuk mengamati proses metamorfosis kupu-kupu. Permainan ini segera di mulai. Pak guru menyuruh kami mencari kepompong yang ada di sekitar tempat itu. Seperti permainan mencari harta karun, lalu menyebarlah kami mencari sosok kepompong yang dimaksud pak guru. Betapa senangnya kami ketika berhasil menemukan beberapa kepompong. Salah satu teman kami berteriak ada sebuah kepompong yang bergerak-gerak. Kami berlari menghampiri teman tersebut. Benar saja, kepompong tersebut sedikit demi sedikit terbuka hingga akhirnya kulit kepompong tersebut benar-benar robek. Kami bersorak sorai menyaksikan sebuah kupu-kupu yang indah terbang ke udara. Setelah menyaksikan semua itu, pak guru menyuruh kami untuk mencatatnya di buku tulis.

Demikian pula, kejadian si bunglon yang selalu berubah-ubah warna. Ketika bunglon menempel di dahan kayu, dia berwarna coklat, lalu berubah lagi menjadi hijau, ketika berjalan di rerumputan. Kami memanggil pak guru untuk menjelaskan keadaan hewan yang kami temui. Lalu, mulailah pak guru menjelaskan bahwa nama binatang itu adalah bunglon dan dengan cara inilah ia mempertahankan diri dari musuh. Ooohh... dengan serentak saya dan teman-teman mengiyakan perkataan pak guru.

Suatu ketika, kami disuruh pak guru terutama anak laki-laki untuk mencari kecebong. Untuk kegiatan seperti ini, teman laki-laki langsung berlomba mencari kecebong di got depan sekolah. Kami yang perempuan ada yang berteriak-teriak memberikan support ada juga yang merasa jijik. Setelah kecebong berhasil dikumpulkan, mulailah kami bereksperimen. Beberapa kecebong di taruh di toples, kami memperhatikan proses perubahan kecebong menjadi anak katak.

Suatu hari bapak membelikan beberapa ayam kampung sejumlah anak-anaknya. Mulailah kami sebagai si empunya ayam memberikan nama. Tugas kami merawat dan memberinya makan. Kalau ada ayam-ayam kami yang kawin kami mengelilinginya untuk menonton adegan tersebut. Kami senang kalau ada ayam betina yang sudah bertelur. Tanpa rasa jijik, saya memasukan jari ke a**s ayam dengan cara menunggingnya. Senangnya jika jari ini sudah menyentuh benda keras yang kami yakini sebuah telur. Tibalah si induk ayam mengeluarkan telur-telurnya. Induk ayam kami taruh di atas keranjang, yang sudah dilapisi kain bekas. Pluk...pluk.... satu persatu telur keluar. Horeee... kami berteriak.


Kata pak guru, telur dierami induknya selama 21 hari. Ini membuat rasa penasaran saya begitu besar. Setiap pulang sekolah, saya langsung lari menuju kandang ayam. Saya selalu menunggu waktu-waktu si ayam betina mengerami telurnya.  Dengan penasaran saya amati bagaimana induk ayam mengerami telur-telurnya. Si induk ayam mengerami telurnya sambil membolak-balikkan telur-telurnya. Saya tertawa sendiri melihat perilaku hewan yang ada di depan saya. Begitu adilnya si induk ayam, sehingga tidak ada satu pun telur yang terlewati olehnya. Sebuah tanda tanya besar ada di kepala, siapakah yang mengajarkan induk ayam ini. Bagaimana induk ayam tahu, kalau ia sudah 21 hari mengerami telurnya. Ayamkan tidak sekolah? Memangnya ayam bisa berhitung ? Begitulah cara berpikir saya yang masih kanak-kanak. Tepat hari yang ke-21, saya menunggu-nunggu telur-telur itu menetas. Betapa senangnya saya dan kakak-kakak saya begitu melihat satu persatu telur-telur itu mulai bergerak lalu sedikit retak hingga akhirnya menetas dengan sempurna. Dari telur-telur itu, keluarlah anak ayam yang masih basah dengan darah dan belum bisa berdiri.

Kucing-kucing kampung silih berganti datang ke rumah. Setiap kucing yang datang, tidak diusir hingga akhirnya dia mengganggap rumah kami adalah rumahnya. Mulai kucing yang berwarna putih, hitam, belang-belang dan kuning semuanya betah di rumah, padahal kami tidak berniat sama sekali memelihara mereka. Ada satu kucing si belang namanya, kucing itu paling lama jadi penghuni rumah kami. Sejak dia masih muda belia dan sudah beberapa kali melahirkan anak sampai si belang sudah jadi nenek-nenek alias sudah peyot hingga akhirnya si belang mati.

Si belang  kelihatannya lebih menarik daripada kucing-kucing betina lainnya. Dia suka jadi incaran kucing-kucing jantan. Plafon rumah yang berjatuhan sudah tidak terhitung lagi akibat aksi kejar-kejaran mereka. Saya juga sering mengamati adegan kucing lagi kawin sampai saat mereka akan melahirkan. Biasanya, kucing yang mau melahirkan terlihat gelisah dan membolak-balikkan badannya. Begitu tahu kucing belang kesayangan kami akan melahirkan, saya membantu memijat-mijat perut si belang. Setelah beberapa kali kontraksi satu persatu anak kucing lahir. Lucu-lucu dan menggemaskan. Satu persatu si belang menaruh anak-anaknya ke keranjang yang berisi kain-kain bekas. Dia menatap saya penuh arti. Kalau si belang bisa bicara, mungkin dia ingin menyampaikan rasa terima kasihnya kepada saya. Tuh kan, binatang saja tahu cara berterima kasih.

Suatu hari tanpa sengaja, mata saya tertuju pada sarang lebah yang ada di atas kayu-kayu balok yang ditaruh di samping rumah. Saya panggil ibu untuk melihat. Ibu menyuruh anak-anaknya agar tidak mengganggu sarang lebah tersebut. Rasa penasaran saya ternyata mengalahkan pesan yang disampaikan ibu. Dengan jari telunjuk, saya colek madu yang ada di atas sarang, lalu mencicipinya. Hmm.... rasanya manis dan lezat. Besdok dan besok, saya benar-benar lupa pesan ibu untuk tidak menyentuhnya, karena saya sudah ketagihan sama madu gratis ini.

Saya berharap anak-anak juga bisa belajar dari alam. Melihat, mengamati dan menyentuh langsung akan menjadi pelajaran yang lebih menarik dibandingkan hanya sekedar membaca buku atau  hanya dari penjelasan gurunya.

0 komentar:

Posting Komentar